Kamis, 21 Mei 2015

Kunjungan Nostalgia (2)

 Kunjungan Nostalgia (2)       

Hari Sabtu pagi, udara cukup dingin. Tujuan kami pagi ini adalah menara Eiffel. Sekedar melihat-lihat. Si Tengah bertanya apakah kami berniat untuk naik ke puncak menara, yang aku jawab tidak. Dulu kami sudah beberapa kali naik ke sana. Sensasi yang tidak perlu diulangi. Terlebih-lebih di udara dingin seperti pagi ini. Tapi di sini ada antrian panjang pengunjung yang akan naik ke atas sana. Antri di depan loket penjualan karcis. Lapangan dan taman di sekitar menara ini cukup ramai. Ikut meramaikan adalah pedagang asongan dari Afrika yang menyapa dengan bahasa Indonesia, menawarkan dagangan mereka, miniatur menara Eiffel. 5 biji satu euro, murah, murah, teriak mereka. Ada pula yang menawarkan salendang. Mungkin ini pertanda bahwa cukup banyak wisatawan Indonesia yang datang ke sini.

Kami berada di area ini sekitar satu jam. Mengamati orang yang lalu lalang. Membuat foto-foto. Yang cukup menarik adalah keberadaan becak di area ini. Becak dengan penariknya di depan. Mungkin ada sepuluh buah yang berlalu lalang di pagi itu. Di bagian belakang sebuah becak aku lihat ongkos naik becak untuk berkeliling adalah 15 euro. Aku tidak tahu untuk mengelilingi apa.  

Dari area menara Eiffel, kami berkeliling-keliling dalam kota Paris. Raun panik kalau istilah orang kampungku. Melalui jalan Champs Elysees, melingkari Arc De Triomphe, menyusuri sungai Sein, melihat gereja Notre Dame dari kejauhan. Yang menarik, semua dapat dilalui tanpa kemacetan sedikitpun. Ini agaknya yang agak berbeda. Seingatku, 28 tahun yang lalu jalan Champs Elysees mulai dari Arc De Triomphe relatif macet. 

Puas berkeliling-keliling dan perut terasa lapar. B dan si Tengah sudah merencanakan untuk makan di Mesjid Paris. Rupanya di dalam mesjid itu ada sebuah restoran cukup besar dengan spesialisasi kuskus. Kuskus itu dihidangkan dengan daging kambing atau ayam serta sayur yang terdiri dari wortel, terong, tomat dan entah apa lagi dengan kuah berwarna merah. Kenapa tidak kemarin sesudah shalat Jum'at kita mampir ke sana, aku bertanya. Kalau kemarin pasti terlalu ramai dan kita harus menunggu lama, jawab B. 

Kami sekeluarga menyukai hidangan kuskus ini sejak tinggal di Courbevoie tahun 1988. Mulanya dikenalkan oleh tetangga kami, orang tua murid teman si Sulung, orang Aljazair, yang mengundang kami ke rumahnya. Sesudah itu jadi ketagihan dan sering memasaknya di rumah. Versi kami adalah bulir-bulir kuskus yang disiram dengan asam padeh kambing berkuah encer yang dicampur dengan terung, wortel, kentang, tomat dan sayuran lain. Bahkan ketika aku berkunjung ke sini tahun 2004, waktu pulang koperku dipenuhi dengan kuskus mentah berkotak-kotak. Petugas pemeriksa di bandara Soeta sempat bertanya apa isi koperku yang terlihat aneh dari pemeriksaan X'ray.

Kuskus di restoran Mesjid Paris ini enak. Aku, istri dan si Tengah cepak cepong menikmatinya. B, sang menantu juga sangat menikmati daging kambing dan kuah sayur berwarna merah, tapi dia tidak menyukai bulir kuskus. Penggantinya dia memesan nasi. Cukup banyak pengunjung restoran itu. Dan banyak orang-orang asli Perancis. Di depan kami, dengan meja bersisian ada keluarga Perancis dengan dua anak, yang juga terlihat sangat menikmati hidangan ini. 

Sayang tidak terdengar suara azan di ruangan restoran ini. Sesudah makan kami pergi shalat dulu ke dalam mesjid, sudah terlambat dari shalat berjamaah. Aku baru menyadari bahwa mesjid besar ini rupanya jadi objek untuk dikunjungi pelancong bukan Muslim. Mereka boleh masuk dan berkeliling-keliling untuk melihat-lihat kecuali ke dalam ruangan utama tempat shalat. 

Sesudah shalat kami langsung pulang ke penginapan karena B dan si Tengah sore itu diundang temannya sama-sama karyawan Total yang bertugas di Paris.  

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar