Senin, 28 Desember 2015

Kebersamaan Sementara Itupun Berakhir

Kebersamaan Sementara Itupun Berakhir     


Tadi malam Hamizan, Fathimah bersama ayah dan uminya dijemput sama uti dan akung untuk dibawa ke Tangerang. Di sana mereka akan menginap dua malam terakhir. Hari Rabu malam mereka akan terbang kembali ke Pau, rantau mereka di Perancis sana. Saat-saat bersama itu sangat menyenangkan. Tapi sayang sekarang harus berpisah lagi. Inilah di antara foto-foto kebersamaan para cucu-cucu.








                             

Minggu, 27 Desember 2015

Hari-hari Terakhir Masa Liburan Hamizan Dan Fathimah

Hari-hari Terakhir Masa Liburan Hamizan Dan Fathimah          

Setelah hampir dua minggu bersama-sama di Jatibening, masa liburan Hamizan, Fathimah beserta ayah dan umi mereka akan segera berakhir. Mereka akan kembali lagi ke Pau. Hari Senin besok mereka akan pindah ke rumah uti di Tangerang dan hari Rabu malam terbang ke Paris melalui Doha. Sangat sebentar berakhirnya waktu dua minggu.

Hari-hari bersama mereka adalah hari-hari yang sibuk dan menyenangkan. Dan heboh, karena kelima cucu berkumpul dalam kebersamaan. Hamizan selalu sibuk dengan abang-abang dan Rayyan. Berebutan mainan. Bercanda dan tertawa terkekeh-kekeh. Mereka berempat sudah sehat dari khitanan pada hari keempat. 

Cuma ada yang agak aneh. Fathimah tidak mau digendong siapapun kecuali ayah dan uminya saja. Padahal waktu inyiak dan nenek di Pau, dia sangat lengket dengan inyiak. Setiap kali uminya ada keperluan pergi keluar, kalau tidak ada Nounou (si pengasuh jam-jaman), Fathimah ditinggal dengan inyiak tanpa masalah. Nah, sekarang sama sekali tidak mau. Maunya hanya diajak main dan dirayu-rayu saja. Meski demikian, hari-hari terakhir ada sedikit kemajuan. Kemarin mau digendong nenek sekitar 2 - 3 menit. Dan tadi siang mau pula digendong onti bahkan sedikit lebih lama. Namun dengan inyiak tetap belum berhasil.

Izan ditanya apakah dia senang karena segera akan kembali ke sekolah di Pau. Jawabnya spontan, tidak. Lebih senang di sini main dengan abang-abang dan Rayyan. Kalau begitu bagaimana kalau Izan gantian saja dengan Rayyan. Izan tinggal di Jatibening dan Rayyan menggantikan Izan. Kalau itu dia juga tidak mau. 

Selama kebersamaan ini kami sempat pergi ke Bandung dan menginap dua malam. Kalau istilah abang Afi, menemani umi berwisata kuliner. Dan memang begitu adanya. Setelah hampir satu setengah tahun tidak mencicipi jajanan dan makan khas negeri kita, banyak yang ingin dicoba umi. 

Kebersamaan ini akan segera berakhir. Biasanya akan terasa berat. Buat Izan, buat abang-abang, buat inyiak dan nenek. Bahkan buat semua. Entah kapan bisa berkumpul lagi. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Mudah-mudahan kita semua senantiasa dilindungi dan dirahmati Allah.

****                              

Jumat, 18 Desember 2015

Ketika Empat Cucu Dikhitan

Ketika Empat Cucu Dikhitan  

Kita lebih mengenalnya dengan dikhitan. Bahasa lainnya disunat. Bahkan ada yang menyebutnya disunat rasul. Anak laki-laki biasanya disunat ketika mereka berumur sembilan sepuluh tahun. Itu dulu, ketika aku disunat. Cerita tentang sunat bisa macam-macam. Yang lebih tua sesuai dengan pengalaman mereka biasa menakut-nakuti yang belum disunat. Lagi-lagi itu dulu, ketika aku belum disunat, setengah abad lebih yang lalu. Tapi sekarang tidak ada lagi anak-anak yang ditakut-takuti. 

Rafi dan Rasyid memang direncanakan akan disunat sekarang-sekarang ini. Setelah melalui penjelasan yang panjang dan memadai. Sehingga mereka faham tentang sunat. Ketika mereka bertanya apakah disunat itu sakit, dijawab apa adanya. Memang sakit (sedikit) tapi sekarang sudah banyak obat untuk menghilangkan rasa sakit. Dan bersunat itu yang jelas wajib dijalani. Akhirnya mereka siap secara mental. Hamizan yang jauh-jauh datang dari Pau juga sudah disiapkan mentalnya. Begitu juga yang paling kecil, Rayyan. Meskipun dua yang terakhir ini mungkin tidak seutuhnya faham. Buktinya Rayyan, protes keras dan berontak waktu berada di ruangan operasional dan melihat jarum suntik. Terjadi sedikit heboh, walau akhirnya terlaksana juga.

Keempat-empatnya disunat hari Kamis kemarin. Alhamdulillaah. Sampai di rumah, masing-masing dengan wajah yang berbeda. Ada yang sedikit meringis dan ada yang santai. Urusan jadi agak rumit tatkala pengaruh obat bius pelan-pelan berakhir dan mereka merasa sakit dan perih. Syukurlah bahwa yang kesakitan masih bisa dibujuk. Diajak banyak-banyak berzikir mengingat Allah. 

Disunat sekarang rupanya memang lebih sederhana cara perawatannya. Mereka dipakaikan celana dalam dengan pelindung khusus. Ada obat penahan rasa sakit. Di antara mereka berempat, abang Rasyid terlihat yang paling santai. Ditanya apakah dia tidak merasa sakit, dijawabnya, sakit juga tapi Asyid tahan. Hamizan lebih banyak mengeluh dan menangis, tapi ketika diingatkan untuk mengulang-ulang hafalan surah-surah pendek masih mau mengerjakannya. Rayyan yang paling kecil juga berusaha menahan rasa sakit dengan caranya sendiri, dengan tidak banyak mengeluh tapi wajahnya terlihat tegang.
  
Tidak ada pesta khitanan karena kedua pasang orang tua mereka tidak mau membuat pesta seperti itu. Tapi ada hadiyah uang dari inyiak dan nenek, dari uti dan akung Izan, dari inyiak Dedi. 

Sekarang di hari ketiga semua sudah terlihat cerah dan tidak terlihat lagi kemurungan karena menahan sakit. Mudah-mudahan mereka semua semakin faham tentang Islam dan menjadi hamba-hamba Allah yang shalih dalam kehidupan mereka.

****

(Photo-photo diambil di rumah inyiak sebelum berangkat ke tempat sunat)            

Rabu, 16 Desember 2015

Ketika Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung

Ketika Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung   

Mereka datang sudah beberapa hari yang lalu sebenarnya. Tepatnya hari Senin tanggal 7 Desember yang lalu. Dan waktu itu langsung ke tempat akung - uti di Tangerang. Inyiak, nenek, onti, bunda dan abang-abang dari Jatibening hadir ke Tangerang waktu itu. Tentu saja pertemuan yang heboh, antara Izan dengan abang-abang plus Rayyan. Pertemuan yang memukau bagi yang baru pertama kali bertemu Fathimah. Si Gadis Kecil ini tersenyum mengamek ke semua orang tapi tidak mau dipangku siapapun selain ayah dan umi. Tidak juga dengan inyiak, yang padahal beberapa bulan yang lalu sangat lengket ketika di Pau.

Ya, kepulangan ini juga sehubungan dengan rencana pernikahan adiknya ayah mereka, yang in sya Allah akan dilangsungkan tanggal 19 Desember. Mereka di rumah akung - uti sampai hari Selasa kemarin. Sejak itu pindah ke Jatibening. Rumah kamipun jadi ramai dan semarak. Di saat kelima cucu berkumpul.

Fathimah tentu saja jadi bintang dan yang paling cantik. Satu-satunya anak perempuan. Ngomongnya masih sangat terbatas meski bisa menyebut inyiak dan nenek cukup sempurna.

Yang lucu adalah Rayyan. Sebelumnya, setiap kali kami skype dan wajah Fathimah terlihat, Rayyan sangat cemburu. Kadang-kadang bahkan menjentik wajah Fathimah yang di layar kaca komputer. Tapi begitu bertemu semuanya berobah. Dia sangat menyukai dan sayang sama Fathimah, begitupun sebaliknya. 

Izan selalu sibuk dengan kedua abang dengan berbagai macam mainan. Tapi yang paling menarik tetap saja Ipad atau laptop inyiak untuk diplototin ramai-ramai. Ketika kedua abang sekolah barulah main dengan Rayyan. Mereka berdua ini terlihat seperti kembar pula. Dan cukup kompak. Kalau ngobrol saling atas mengatasi dan obrolan mereka nyambung.

Sesuai dengan yang telah direncanakan orang-orang tua mereka, hari ini keempat Muhammad ini akan dikhitan. Semula hanya Rafi dan Rasyid saja karena memang sudah waktunya. Umur mereka sudah hampir sepuluh tahun. Tapi keputusan akhir, keempat-empatnya sekaligus. Dan itu adalah pagi hari Kamis ini. Mudah-mudahan semua dilancarkan Allah dan semoga mereka sehat dan selamat.

Yang agak aneh, Fathimah masih tetap belum bisa digendong siapapun. Mau dirayu dan diajak bercanda, tapi tidak untuk digendong. Sudah hari ketiga nginap di Jatibening, dia masih tetap seperti itu. Jinak merpati dengan senyumannya yang khas. Tapi tetap jual mahal kalau urusan digendong.

Fathimah menyukai binatang dan mampu menirukan suara bermacam hewan seperti kucing, anjing, sapi dan sebagainya. Di rumah kami ada kucing, kura-kura kecil, ayam dan ikan di kolam. Pagi ini Fathimah dan Hamizan menonton kucing onti sedang makan.

Sungguh membahagiakan ketika berkumpul dengan anak, menantu dan cucu-cucu seperti ini. Mudah-mudahan Allah senantiasa memelihara kita dalam kesehatan dan keteguhan iman. Aamiin. 


                   

Rabu, 09 Desember 2015

Subhanallah, Di Dunia Semut ‘Pendusta’ di Hukum Mati (Kisah Nyata) (Dari Akhwat Muslimah)

Subhanallah, Di Dunia Semut ‘Pendusta’ di Hukum Mati (Kisah Nyata)


Akhwatmuslimah.com 

Seorang Mufti Masjidil Haram, mengisahkan kisah nyatanya sendiri, dia berkata :

Pada suatu kesempatan, aku duduk di sebuah tempat, Kupalingkan pandanganku kesana kemari melihat makhluk-makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Akupun terkagum-kagum dengan ciptaan ar-Rahman Subhanahu Wa Ta’ala. Seekor semut menarik perhatianku. Dia berkeliaran di sekitarku untuk mencari sesuatu, mencari, dan mencari. Tidak merasa terbebani, juga tidak bosan.

Di tengah-tengah pencariannya, dia menemukan sisa-sisa bangkai belalang, tepatnya adalah kaki belalang. Diapun menyeretnya, dan menyeretnya, dan berusaha untuk membawanya ke tempat tertentu yang telah ditentukan oleh hukum mereka di dunia semut. Dia sudah banyak berusaha dalam usahanya tersebut. Setelah beberapa waktu, dan kesungguhan, dia merasa tidak bisa membawa kaki belalang tersebut. Lalu dia tinggalkan buruan berharga tersebut, kemudian pergi ke suatu tempat yang tidak kuketahui, dan diapun menghilang.
Selang beberapa waktu, dia kembali bersama dengan sejumlah besar semut. Di saat aku melihat kemana mereka menuju, aku tahu bahwa semut yang tadi telah mengajak mereka semua untuk membantunya mengangkat apa yang tidak mampu dia angkat. Akupun ingin hiburan sedikit, kuambil kaki belalang tersebut, lalu kusembunyikan.

Ilustrasi. (Foto: pestguardex.com)

Ilustrasi. (Foto: pestguardex.com)

Maka dia dan semut-semut lain yang bersamanya mencari kaki tersebut, mereka mencarinya kesana kemari tanpa ada hasil, hingga mereka putus asa akan keberadaannya, lalu merekapun pergi meninggalkan tempat tersebut. Setelah itu, semut yang pertama datang kembali sendirian menuju tempat tadi. Sebelum dia sampai pada tempat tadi, kukembalikan kaki belalang di hadapannya.

Maka mulailah dia mengitari dan melihat di sekelilingnya. Lalu dia berusaha untuk menyeretnya lagi, berusaha dan berusaha, hingga dia merasa lemah. Kemudian dia pergi meninggalkan tempat itu sekali lagi. Akupun yakin bahwa dia pergi untuk memanggil kabilah semutnya guna membantunya untuk mengangkat kaki belalang yang ditemukannya tersebut.

Setelah itu, datanglah sekumpulan semut bersama semut tadi, dan kukira itu adalah kelompok semut yang sama seperti tadi!! Mereka pun datang, dan saat aku melihat mereka berjalan di belakang semut pertama menuju tempat tadi, akupun banyak tertawa, lalu kuambil kaki belalang dan kusembunyikan dari mereka sekali lagi. Merekapun mencari kesana kemari, mereka mencari dengan penuh keikhlasan.

Demikian pula semut tadi mencari dengan sepenuh semangat dan keyakinannya, berputar kesana kemari, melihat ke kanan dan ke kiri, agar melihat sesuatu, akan tetapi tidak ada sesuatupun. Pada saat seperti ini, terjadilah sesuatu yang aneh. Sekumpulan semut itu berkumpul bersama yang lain setelah mereka bosan mencari, dan diantara mereka terdapat semut yang pertama. Kemudian tiba-tiba mereka menyerangnya, lalu memotong-motongnya secara ganas di hadapanku. Dan demi Allah, aku melihat kepada mereka, sementara aku ada pada keterkejutan yang besar.
Apa yang terjadi membuatku takut… mereka membunuhnya… mereka memotong-motongnya di hadapanku. Astaghfirullah! Ya, mereka memotong-motongnya di hadapanku… dia terbunuh karena aku… mereka membunuhnya karena mereka menyangka bahwa dia telah berdusta kepada mereka!!! SubhanAllah, hingga bangsa semut memandang dusta sebagai aib, dan kekurangan, bahkan dosa besar yang pelakunya dihukum bunuh!! Semut menganggap dusta adalah sebuah kejahatan, dan memberikan hukuman atasnya!!

Maka bagaimana jika dusta itu membawa keburukan, atau keragu-raguan yang di belakangnya akan timbul fitnah, peperangan, dan kehancuran rumah tangga?! Serta penderitaan rakyat banyak karena para wakil rakyat yang dipilih ternyata mendustai rakyatnya dengan korupsi, nepotisme, dll. serta pemimpin negara ini mendustai dan mendurhakai hukum Allah yang wajib diterapkan… Maka dimanakah orang yang bisa mengambil pelajaran dari semut kecil ini ? Subhanallah…
“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya (dusta) dan pencurian (korup). Hati mereka lebih busuk dari bangkai.” (HR. Ath- Thabrani)
****
Sumber: Sofii

Minggu, 06 Desember 2015

Menhir Di Mahek


Menhir Di Mahek  

Aku pernah membaca dan mendengar cerita tentang keberadaan benda purbakala yang disebut menhir di sebuah kampung di pedalaman Sumatera Barat. Tepatnya di kampung Mahek di Kabupaten Limo Puluah Koto. Sudah sejak lama aku tertarik untuk pergi melihat aslinya, tapi belum pernah kesampaian. Hal ini disebabkan juga oleh sarana jalan menuju lokasi itu menurut berita yang aku dengar kurang baik. 

Akhirnya pada kesempatan pulang kampung kemarin ini rencana itu dapat terlaksana. Jalan ke lokasi itu melalui kota Payakumbuh lalu berbelok ke baratlaut arah ke Suliki. Di Limbanang berbelok ke utara menuju kampung Mahek. Jalan dari Payakumbuh ke Limbanang sejauh 21 km adalah jalan propinsi sementara dari Limbanang ke Mahek  (23km) adalah jalan kabupaten yang lebih kecil tapi kondisi aspalnya lumayan baik. Sebagian besar melalui hutan rimba yang sepi. Tidak banyak kendaraan yang melintas di sepanjang jalan ini. Pada separuh terakhir menjelang Mahek sedang ada perbaikan dan pelebaran jalan.  Pada bagian yang sedang diperbaiki ini ada sebuah belokan tajam dan mendaki cukup terjal. Beruntung kami melaluinya bukan sedang hujan karena bisa dibayangkan belokan ini akan sangat licin karena belum diaspal.                     

Kami sampai di kampung Balai Batu dan bertanya kepada seorang bapak tentang lokasi Menhir. Rupanya kami sudah melewatinya kira-kira 500 meter. Bapak tersebut mengantar kami ke lokasi yang dimaksud. Ada plang petunjuk bertuliskan Megalit Balai Batu di pinggir jalan dan di sampingnya ada jalan kecil menuju ke lokasi yang hanya beberapa meter saja dari jalan. Tempat itu merupakan hamparan / lapangan yang ditumbuhi rumput dengan beberapa buah batu ukuran besar (menhir itu) bertebaran . Ada beberapa buah yang masih berdiri di tanah. 
Ada yang diukir seperti pada foto di bawah

Kami dikenalkan kepada seorang bapak petugas kepurbakalaan di lokasi itu (sayang aku lupa nama beliau). Beliau bercerita bahwa menhir di lokasi ini terlanjur sudah banyak yang dirusak penduduk untuk dijadikan pondasi rumah. Sampai dikeluarkannya peraturan pemerintah pada tahun 1980 yang melarang masyarakat merusaknya. Tapi masih ada dua lokasi lagi di sebelah utara yang masih terpelihara. Di sana masih berdiri tegak puluhan menhir. Kami tidak pergi ke lokasi itu. 
Bapak itu menjelaskan bahwa pernah ditemukan kerangka manusia dalam posisi duduk di bawah menhir. Beliau menduga bahwa sebagian dari menhir itu mungkin berfungsi sebagai batu kuburan.                  

Berikut ini adalah ikhtisar tentang budaya megalith yang diambil dari Wikipedia;

Kebudayaan Megalith
Antara zaman neolitikum dan zaman logam telah berkembang kebudayaan megalith, yaitu kebudayaan yang menggunakan media batu-batu besar sebagai alatnya, bahkan puncak kebudayaan megalith justru pada zaman logam. Hasil kebudayaan Megalith, antara lain:
  1. Menhir: tugu batu yang dibangun untuk pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang.
  2. Dolmen: meja batu tempat meletakkan sesaji untuk upacara pemujaan roh nenek moyang
  3. Sarchopagus/keranda atau peti mati (berbentuk lesung bertutup)
  4. Punden berundak: tempat pemujaan bertingkat
  5. Kubur batu: peti mati yang terbuat dari batu besar yang dapat dibuka-tutup
  6. Arca/patung batu: simbol untuk mengungkapkan kepercayaan mereka
****                  

Jumat, 04 Desember 2015

Kampung Siapa?

Kampung Siapa? 

Ada sesuatu yang agak rumit bagi anak-anak pada awalnya ketika berbicara tentang kampung. Ketika kepada mereka dijelaskan bahwa Koto Tuo - Balai Gurah itu adalah 'kampung papa'. Mereka agak bingung mendengarnya.  'Berarti kampung kita juga, kan?' celetuk mereka. Lalu dijawab, bukan. Itu bukan kampung kalian, tapi itu adalah kampung / rumah bako kalian.  'Lho, kampung kita dimana?' tanya mereka lagi setengah tak percaya. Cerita atau obrolan berlanjut tentang sistim kekeluargaan matriakhat yang dipraktekkan oleh orang Minang. Kampung mereka (anak-anakku itu) adalah kampung mamanya, yang adalah kampung nenek (ibu dari mamanya). Sementara rumah saudara-saudara perempuan ayah disebut rumah bako.

'Di mana itu? Kok kita tidak pernah pergi ke sana?' desak mereka. 'Kampung asal kalian di Simawang, di tepi Danau Singkarak. Hanya masalahnya, nenekmu tidak pernah tinggal dan menetap di sana, meskipun saudara-saudara sepersukuannya masih ada di kampung itu. Sesuatu yang sekarang sangat lazim, di mana keturunan orang Minang lahir dan besar di rantau dan tidak mengenal kampung halamannya, tapi tidak begitu biasa beberapa puluh tahun yang lalu,' aku mencoba menjelaskan.

Si Bungsu penasaran dengan  keterangan ini. Dia sangat ingin melihat dan mengunjungi kampung asal neneknya. Kampungnya sendiri sebagai orang Minang. Dan kamipun pergi mengunjungi kampung itu. 

Batulimbak namanya di kanagarian Simawang. Melalui jalan mendaki cukup terjal dari Ombilin di pinggir danau Singkarak. Yang bahkan istriku sendiri sepertinya baru sekali itu mengunjunginya. Sayangnya kami tidak berhasil menemukan siapa-siapa, karena tidak mengetahui tempat yang jelas dari rumah pusaka (tapak perumahan) nenek mereka, meski sudah sempat berkonsultasi dengan seorang saudara yang tinggal di Jakarta melalui telepon. Mungkin usaha kami kurang maksimal, tidak bertanya kepada penduduk kampung itu. Dan kami tidak pula tahu apakah masih ada saudara sepersukuan yang masih tinggal di sana saat ini. 

Kampung yang ditinggalkan oleh warganya memang sangat lumrah. Di kampungku, dari tujuh buah rumah sepersukuan kami hampir keseluruhannya kosong. Hanya satu rumah yang ditempati oleh seorang saudara laki-laki. Kami mengupah seseorang untuk sekedar menjaga dan membersihkan, menyalakan dan mematikan lampu setiap harinya. Rumah ibuku tempat kami menginap selama kunjungan ini, sehari-hari terkunci. Kadang-kadang saja rumah itu kami datangi bergantian.   

Tentang kampung di Simawang itu, sementara ini kami baru berhasil melihat lokasinya secara umum, tapi belum berhasil menemukan tumpaknya secara jelas. Kata si Bungsu, biarlah sementara ini kita 'menompang' saja dulu di kampung bako.  

****