Minggu, 29 November 2015

Menyusuri Kelok 44

Menyusuri Kelok 44 

Perjalanan kemarin itu adalah untuk lebih memperkenalkan sebagian dari keindahan alam Minangkabau kepada si Bungsu. Sudah cukup lama dia tidak pulang kampung. Terakhir sekali tahun 2000 yang lalu, waktu itu kami juga berkendaraan darat, sehubungan dengan pernikahan seorang kemenakan di kampung. Saking sudah lamanya, si Bungsu tidak begitu ingat tempat apa saja yang kami kunjungi ketika itu.  

Hari Ahad tanggal 15 November kami berangkat dari rumah di kampung jam sepuluh pagi. Tujuan pertama adalah Puncak Lawang. Udara pagi itu cerah. Perjalanan melalui Bukit Tinggi terus ke Padang Lua dan berbelok ke kanan ke arah Ampek Koto lancar-lancar saja. Kami lalui Matua dan berbelok ke kanan ke arah Lawang. Mendaki menuju ke puncaknya. Sebelum memasuki area Puncak Lawang kami dihentikan petugas (ada beberapa orang, berpakaian preman) untuk membayar biaya masuk. Diantara yang harus dibayar adalah biaya parkir. Tapi tidak ada karcis. Aku menanyakan apakah nanti di atas aku akan harus membayar ongkos parkir lagi dan dijawabnya tidak. 

Banyak pengunjung saat itu. Ada rombongan pengendara sepeda motor bernomor polisi BM sekitar dua puluhan motor. Tempat parkir dipenuhi oleh banyak mobil dan motor. Ada yang mengatur parkir di sini. Setelah memarkir mobil di jalan keluar, kami segera naik ke puncak melalui tangga. Pemandangan cukup cerah. Di bawah terlihat hamparan danau Maninjau. Walau sudah berkali-kali mengunjungi tempat ini, tetap saja hati berdecak kagum memandang keindahan ciptaan Allah. Si Bungsu terkesima melihat pemandangan ini. 

Setelah kira-kira setengah jam kami tinggalkan Puncak Lawang. Si petugas tadi benar, kami tidak dipungut lagi biaya parkir. Rupanya memang ada koordinasi petugas-petugas tidak berseragam ini. Hanya sayangnya, kenapa mereka tidak menyediakan karcis tanda masuk dan ongkos parkir.

Selanjutnya kami menuju Maninjau, melalui kelok ampek puluah ampek. Beberapa bulan yang lalu aku melintasi kelok ini dari bawah ke atas. Kali ini kebalikannya. Di setiap kelok patah, ketika ada kendaraan lain dari bawah, kita harus menunggu. Prioritas diberikan untuk kendaraan yang mendaki. Di beberapa buah tikungan masih ada cermin bulat untuk memantau kendaraan dari arah berlawanan. Dulu rasanya hampir di setiap tikungan tajam ada cermin seperti ini. Tapi banyak di antaranya dirusak tangan-tangan jahil.  Si Bungsu menikmati lintasan yang berkelok-kelok tajam ini dengan mata tak berkedip. Aku mengingatkan bahwa nanti di kelok nomor 15 an akan ada rombongan kera di pinggir jalan. Dan tentu saja benar.  

Kami sampai di Maninjau. Sempat mampir di sebuah kedai yang menjual aneka rinuak yang terkenal itu. Palai rinuak Maninjau. Lalu berhenti untuk shalat zuhur di mesjid Bayur. Sebuah mesjid besar, megah dan indah.  

Terus meluncur ke arah Lubuk Basung. Sayangnya sejak dari sini perjalanan ini harus melalui hujan lebat. Kami lalui Tiku dan terus ke Pariaman. Rencananya kami ingin makan siang (terlambat) di Pariaman di kedai nasi yang menyediakan gulai kepala ikan. Sempat berkomunikasi dengan beberapa orang teman menanyakan di mana kami dapat menemukan rumah makan yang khas dengan hidangan tersebut di Pariaman. Ada yang mengatakan di rumah makan Pauah dan ada pula yang mengatakan di kedai nasi di pinggir pantai. Walaupun tidak terlalu yakin bahwa di siang hari begini gulai itu masih ada.   

Rumah makan Pauah tidak kami temukan, meski sudah bertanya-tanya dan sedikit hilir mudik di Pariaman di bawah guyuran hujan. Hampir kami meninggalkan saja kota ini dalam keadaan perut lapar karena tidak sembarang kedai nasipun yang ditemui. Sampai akhirnya terdampar ke kedai nasi di pinggir pantai yang tadi direkomendasikan seorang teman. Aku lupa nama kedai ini, tapi satu-satunya yang berjualan nasi sek (sekepal nasi dibungkus daun pisang). Si Uniang pemiliknya mengatakan kepala ikan hanya tersedia sampai jam sepuluh pagi saja. Kami akhirnya makan dengan gulai ikan. Di saat kami sedang makan terdengar azan asar.

Dari Pariaman kami menuju pulang melalui Sicincin. Hujan gerimis masih turun. Beruntung bahwa lalulintas cukup lancar. Kami sampai di kampung Koto Tuo menjelang waktu isya.

****       

Sabtu, 28 November 2015

Sebuah Perjalanan Safari

Sebuah Perjalanan Safari    

Perjalanan darat ke kampung itu berakhir tadi malam. Alhamdulillaah kami telah sampai kembali dengan selamat, berkat pertolongan Allah, di rumah di Jatibening. Tentu cukup banyak pengalaman dan cerita sebenarnya selama melakukan perjalanan ini. Sebahagian sudah ditulis beberapa waktu yang lalu. Cerita-cerita itu terputus penulisannya ketika kami mendapat musibah, berpulangnya saudara kami WW dengan sangat mendadak di Rumbai - Pekanbaru.

Ringkasan dari perjalanan panjang itu, terutamanya perjalanan kembali ke Jatibening, aku ceritakan sebagai berikut. 

Kami berangkat dari kampung Koto Tuo Balai Gurah, hari Kamis tanggal 19 November yang lalu, jam setengah dua siang. Tujuan kami adalah Pekanbaru. Perjalanan yang lumayan lancar. Berhenti untuk makan siang di Lubuk Bangku sesuai dengan rencana. Makan di Lubuk Bangku ini memang jadi favorit sekaligus nostalgia. Untukku pribadi, cerita nostalgianya kembali ke hampir setengah abad yang lalu, ketika pertama kali aku meninggalkan kampung, ikut dengan kakak sepupu yang membawaku melanjutkan sekolah SMA di Rumbai. Waktu itu setiap kali pergi dan pulang ke kampung, bus yang aku tompangi selalu singgah di sini. 

Perjalanan kami teruskan melalui jalan berliku, melalui jembatan kelok sembilan yang baru. Kondisi fisik jalan umumnya bagus. Lalu lintas boleh dikatakan sepi. Kami dapat melaju cukup kencang. Mampir shalat maghrib sebelum Danau Bingkuang. Lanjut lagi ke Rumbai dan sampai di sana jam setengah delapan malam. Enam jam di perjalanan, termasuk waktu untuk istirahat makan dan shalat, masih terhitung sangat normal dalam menempuh jarak sekitar 220 km ini. 

Tadinya ada rencana untuk berkeliling pula sedikit di Riau ini. Misalnya pergi melancong ke Siak, atau ke Bagan Siapi-api yang agak jauh. Tapi rencana itu batal.

Setelah melewati hari-hari bertakziah (selama tiga malam), kami tinggalkan Rumbai - Pekanbaru pada hari Rabu 25 November untuk kembali ke Jatibening. Berangkat dari Pekanbaru jam setengah tujuh pagi. Atas saran seorang sahabat kami mengambil jalan lintas timur. Jalan ini mulai dari Pekanbaru melalui Rengat dan terus ke Jambi sepanjang lebih dari 450 km. Kondisi jalan cukup bagus. Kita bisa memacu kendaraan dengan kecepatan rata-rata 60 km per jam. Ternyata pemukiman di sepanjang jalan ini cukup rapat. Ada kota-kota kabupaten baru yang belum pernah aku kenal seperti Pangkalan Kerinci. Dan sudah menjadi kota yang lumayan rapi dan ramai penduduknya. Kami melaju melalui Rengat tanpa masuk kota dan berbelok ke kanan di jalan lingkarnya untuk terus ke Jambi. 

Jam empat sore kami sampai di Jambi. Perjalanan diteruskan ke jurusan Palembang. Menurut perkiraan seandainya kami teruskan ke Palembang kami akan sampai di sana sekitar jam sepuluh atau sebelas malam. Aku tidak berniat untuk menyelesaikan jarak itu malam ini. Maksimum sampai jam delapan malam, yang artinya setelah 13 jam lebih menyetir, kami akan mencari tempat menginap. 

Kami sampai di Sungai Lilin jam setengah delapan malam, Jaraknya 620 km dari  Pekanbaru. Di sana kami menginap di sebuah hotel sederhana malam itu. Aku bisa tidur nyenyak. Terbangun menjelang subuh ketika terdengar suara orang mengaji cukup dekat. Aku keluar mencari mesjid. Ternyata mesjid itu terletak di belakang hotel.

Mendekati jam tujuh, sesudah dapat sarapan setangkap roti dan secangkir kopi kami lanjutkan perjalanan. Palembang masih 130 km lagi. Kami lalui jalan yang bergelombang naik turun tapi kondisinya cukup bagus. Sampai kira-kira 30 km menjelang masuk Palembang lalulintas mulai tersendat. Banyak truk besar di hadapan. Kita benar-benar harus bersabar untuk mendahului setiap truk besar itu.

Jam sepuluh kami sampai di Palembang tanpa masuk kota. Singgah di sebuah rumah makan. Sesudah makan mampir lagi di sebuah toko pempek karena si Tengah yang akan pulang minggu depan minta dibelikan 'kapal selam' asli dari Palembang. Perjalanan kami teruskan keluar dari Palembang. Lalulintas tersendat. Bahkan di sebuah tempat terhenti total selama 30 menit. Anehnya, setelah kami melewati tempat itu tidak terlihat penyebab macet total itu. Tidak ada kecelakaan, tidak ada penutupan jalan karena perbaikan. Nah, yang terakhir ini segera kami temukan berikutnya. Ada bagian jalan yang dibeton. Pekerjaan itu dilakukan sebagian-sebagian sehingga jalan harus buka tutup. Tersendat lagilah kami hampir setengah jam pula. 

Kami berhenti untuk shalat zuhur di sebuah mesjid di Kayu Agung. Ada himbauan dari pengurus mesjid ditulis besar-besar agar tidak meninggalkan kendaraan tanpa dijaga. Agar tidak meninggalkan barang berharga dalam kendaraan. Pengurus mesjid tentu tidak main-main dengan himbauan seperti itu. Maka kami tidak mau mengambil resiko. Kami shalat bergantian.

Perjalanan dilanjutkan. Masih dengan masalah yang sama. Harus mendahului iring-iringan truk besar. Pekerjaan ini memerlukan konsentrasi dan cukup melelahkan. Jam setengah tujuh kami sampai di Menggala. Saat itu sedang turun hujan. Aku putuskan untuk beristirahat di kota ini malam itu. Sehari itu kami hanya menempuh jarak 370 km selama 12 jam berkendaraan. 

Hotel di Menggala jauh lebih baik dari yang di Sungai Lilin malam sebelumnya. 

Hari Jumat pagi kami tinggalkan kota Menggala menuju Bakauheni melalui Bandar Lampung. Kami lebih santai. Pagi-pagi ini tidak terlalu banyak truk di jalan. Kami mampir di sebuah rumah makan di jalan lingkar Bandar Lampung. Dan seterusnya berhenti di sebuah kampung sekitar 20 km di luar Bandar Lampung untuk shalat Jumat. Sesudah shalat Jum'at perjalanan diteruskan. Kami sampai di Bakauheni jam setengah dua dan langsung naik ke kapal ferri. Jam dua kapal tersebut berangkat menuju Merak. Perlu waktu 3 jam untuk sampai di pelabuhan di ujung pulau Jawa ini. 

Kami mampir lagi untuk makan di Merak sebelum meneruskan perjalanan pulang. Jam setengah enam kami tingalkan Merak. Aku serahkan stir ke si Bungsu untuk menyelesaikan etape terakhir ini. Alhamdulillaah, kami sampai dengan selamat di rumah di Jatibening jam setengah sembilan malam. Kendaraan kami telah menempuh jarak 3960 km selama pengembaran 18 hari. Kecuali 120 km terakhir, aku yang selalu duduk di belakang kemudi selama perjalanan safari ini.

****                         

Minggu, 22 November 2015

Dari Allah Kita Datang, Dan Kepada-Nya Kita Kembali

Dari Allah Kita Datang, Dan Kepada-Nya Kita Kembali    

Namanya William Wawoh. Dia adalah suami dari adik istriku. Banyak orang yang menanyakan ketika kami berjalan berdua, apakah kami kakak beradik, karena menurut pengamatan orang-orang itu tampang wajah kami mirip. WW asli keturunan Manado, masuk Islam sebelum dia menikahi adik iparku lebih tiga puluh tahun yang lalu. Dia membuat kemajuan demi kemajuan untuk dirinya dalam berislam. Kami sama-sama pergi menunaikan ibadah haji di tahun 2004. Sejak beberapa waktu yang cukup lama dia juga sudah terbiasa melaksanakan shalat fardhu berjamaah di mesjid, dekat tempat tinggalnya di Umban Sari, Rumbai.

Dia mempunyai kegemaran mengendarai mobil jarak jauh. Sudah berkali-kali dia melakukan perjalanan Pekanbaru - Jakarta - Jogya pulang pergi dengan mobil. Lebih kurang dua bulan yang lalu dia melakukan perjalanan yang sama dengan istri dan anak bungsunya untuk route yang sama, setelah mereka gagal bepergian dengan  pesawat udara karena bencana asap tidak memungkinkan pesawat mendarat di Pekanbaru. Rencananya kami akan beriringn dari Jakarta ke Bukit Tinggi dan Pekanbaru di awal bulan November.  Ternyata batal karena kami masih ada masalah yang harus diselesaikan. WW sekeluarga (mereka bertiga) berangkat duluan. 

Kami berangkat sepuluh hari kemudian, melalui Bukit Tinggi dan beristirahat seminggu di kampung. Hari Kamis tanggal 19 November kemarin kami sampai di Pekanbaru. Tepatnya di Umban Sari Rumbai di rumah keluarga WW. Kami berencana akan tinggal di Rumbai sebelum kembali ke Jatibening, yang dijadwalkan mula-mula hari Senin 23 November. 

Sekembali dari perjalanan panjang terakhir, WW agak kurang sehat. Penyakit asmanya agak mengganggu. Meski harus banyak beristirahat, penampilannya sejauh yang terlihat olehku tidaklah serius amat. Kami bisa ngobrol santai. Ada gangguan lain, kakinya agak bengkak. Dia tidak bisa pergi shalat berjamaah ke mesjid. 

Hari Sabtu pagi kami shalat subuh berjamaah di rumah. Aku melihat dia biasa-biasa saja, meski istriku yang shalat di belakangnya melihat dia bernafas agak susah ketika duduk berzikir sesudah shalat. Sesudah shalat subuh, dia beristirahat / tidur kembali. Sebelumnya dia berpesan menyuruh istrinya pergi membeli sarapan ketupat opor ke Pekanbaru. Istrinya pergi ditemani istriku dan anak bungsu mereka. Jam setengah sembilan mereka kembali dan kami mulai sarapan berenam. Aku menanyakan apakah ketupat opor itu tidak terlalu pedas baginya yang dijawabnya, tidak apa-apa. 

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh bunyi piring jatuh dan isi piring tumpah. Sesudah suapan kedua, WW tiba-tiba kejang dalam duduknya setelah sebelumnya memanggil istrinya yang duduk persis di sebelahnya. Kami semua kaget dan berusaha mengurut badannya. Dia sudah tidak sadar. Kami berusaha menggotongnya untuk dinaikkan ke mobil untuk melarikannya ke rumah sakit terdekat. Kami berlima tidak kuat dan hanya bisa memindahkannya ke ruang tamu. Aku berlari ke luar rumah mencari bantuan tetangga dan mendapatkan seorang bapak-bapak. Berenam kami mengangkatnya ke mobil. Aku segera melarikan mobil itu ke RS PT CPI di Rumbai. 

Dokter rumah sakit itu bekerja keras mencoba memberi pertolongan. Dokter bersama empat orang pembantunya telah berusaha dengan sungguh-sungguh selama 80 menit. Kami ikut menyaksikan. Akhirnya dokter itu menyerah dan memberi tahu bahwa WW sudah tidak tertolong. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun....    

Begitu cepatnya proses kepergiannya. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosanya dan menerima iman islamnya.....

****

Rabu, 18 November 2015

Meraun

Meraun    

Sebelum menyetujui untuk ikut si Bungsu menanyakan apa saja program perjalanan ini. Kemana saja akan pergi, tempat-tempat apa saja yang akan dikunjungi. Akupun membuat rencana yang agak rinci. Kita akan mengunjungi Harau, Pagaruyung, Puncak Lawang, Maninjau terus ke Tiku dan Pariaman. Ke Singkarak, mengunjungi kampung Simawang, kampung asal nenek 'mereka'. Tentu saja disertai wisata kulinernya. Dia setuju dan bahkan sangat antusias. 

Kami berangkat dari Sawahlunto jam sembilan pagi hari Jum'at. Aku berniat untuk shalat Jum'at di mesjid Darussalam di Koto Tuo, kampungku. Kami lalui Talawi kampung dan tempat dimakamkan Mr. Muhammad Yamin salah seorang penting dan menteri di jaman pemerintahan presiden Soekarno. Kami lalui jalan berliku dengan pemandangan yang menyejukkan menuju Batusangkar. Lalu melalui Tabekpatah, terus ke Baso dan akhirnya sampai di kampung jam sebelas lebih. 

Sesudah shalat Jum'at kami keluar untuk makan siang. Pilihannya adalah restoran Pondok Baselo di Batang Ayia Katiak, sekitar 3 km dari rumah di kampung. Restoran ini relatif masih baru. Kami agak surprise ketika ditawari apakah mau memilih menu masakan Minang atau Sunda. Pilihan kami tentu saja masakan urang awak. Restoran ini bersih, rapi, dengan rasa masakan yang sesuai dengan selera. Dan dengan harga yang wajar, tidak mahal. 

Berikutnya kami kembali ke kampung, mengunjungi Ma'had Syekh Ahmad Khatib. Berbincang-bincang dengan ustadz Afdil pimpinan Ma'had dan melihat pembangunan asrama santri yang sedang berjalan. Para santri terlihat sibuk dengan aneka macam olah raga seperti sepak takraw, pingpong (dengan meja seadanya), futsal. Terlihat ramai sekali mereka itu.

Malamnya kami ke bofet nasi goreng di Simpang Bukik. Makanan khas disini adalah nasi goreng, mie goreng, mie rebus dan sebangsanya. Tempatnya sebenarnya agak terpencil dan jauh dari kota Bukit Tinggi, tapi usaha ini sudah bertahan bertahun-tahun sebagai bukti bahwa keberadaannya diakui pelanggannya. Si Bungsu tertawa mendengar istilah bofet yang artinya rumah makan yang tidak menyediakan nasi dengan aneka lauk pauk. Kalau yang terakhir ini di sebut lepau nasi atau rumah makan. 

Hari Sabtu kami mulai pergi meraun. Sudah agak siang kami berangkat. Berhenti dulu untuk shalat zuhur di sebuah mesjid di Payakumbuh. Mula-mula ke Lembah Harau. Lembah dengan dinding batu tegak lurus dan air terjun ini selalu indah untuk dilihat. Si Bungsu terkagum-kagum. Tidak banyak pengunjung siang itu dan kamipun tidak berlama-lama di sana. 

Perut sudah terasa lapar. Kami kembali ke arah Payakumbuh dan terus ke Situjuah. Ke sebuah rumah makan yang katanya terkenal dengan pongek Situjuah dan gulai kambingnya. Aku menilai hidangan di rumah makan ini lumayan enak, tapi istriku kecewa ketika mendapatkan pongek Situjuah ternyata hanya pangek nangka muda tanpa dicampur daging atau ikan. 

Dari Situjuah kami melanjutkan perjalanan ke Pagaruyung, mengunjungi istano basa. Istriku yang bermasalah dengan lututnya tidak berminat ikut masuk ke dalam istano itu, karena beberapa bulan yang lalu kami juga sudah berkunjung ke sini. Dia menunggu di tempat parkir mobil sementara aku dan si Bungsu memasuki rumah gadang. Si Bungsu cukup antusias. Kami melihat-lihat bagian belakang (dapur) dan setelah itu naik ke lantai dua. Banyak pengunjung berfoto-foto dalam pakaian marapulai anak daro.  Setelah kira-kira setengah jam berada di dalam istano basa itu kamipun keluar. 

Dari Pagaruyung kami kembali ke arah Batusangkar dan terus ke arah Padang Panjang. Kami mengelilingi gunung Marapi. Kenapa lewat jalan itu? Karena kami akan makan malam di rumah makan Aie Badarun yang terletak di luar kota Padang Panjang arah ke Bukit Tinggi.

Meraun hari itu berakhir jam sembilan malam.

****

Senin, 16 November 2015

Pulang Kampung Melalui Jalan Darat (3)

Pulang Kampung Melalui Jalan Darat (3)   

Salah satu usaha untuk bisa bertahan segar dalam melakukan perjalan seperti yang sedang kami lakukan (lebih khusus untukku yang memegang kemudi), adalah segera mandi saat terbangun pagi. Alhamdulillah, metoda ini cukup terbukti untukku. Pagi itu aku terbangun sebelum jam empat. Sesudah mandi, ketika aku sedang shalat terdengar suara orang mengaji yang diputar dari kaset, sangat dekat sekali. Aku putuskan untuk mendatangi mesjid itu untuk shalat subuh. Aku turun ke lantai dasar dan bertanya kepada petugas hotel di mana letak mesjid yang terdekat. Petugas itu menunjuk ke arah belakang. Setengah tak percaya aku melangkah ke bagian belakang hotel tersebut. Ternyata benar, ada sebuah mesjid tidak terlalu besar tapi megah dan indah, masih di pekarangan hotel. Tidak percuma hotel ini berlabel 'syariah'. Sayang jamaah shalat subuh pagi itu tidak sampai sepuluh orang.

Setelah sarapan, sebelum jam tujuh kami berangkat meninggalkan hotel. Bagian yang akan kami lalui hari ini harusnya lebih mudah. Jalan antara Lubuk Linggau sampai ke Sawah Tambang dekat Sawahlunto, sepanjang lebih dari 500 km ini, dibangun oleh kontraktor Korea dan Taiwan di tahun tujuhpuluhan. Jalannya relatif lurus (sedikit sekali belokan). 

Ternyata jalan yang sudah berumur hampir setengah abad ini masih bagus. Tentu saja karena dipelihara dengan baik pula. Kami bisa melaju dengan kecepatan 100 km perjam, karena jalan ini relatif sepi. Berturut-turut kami lalui kota Sarolangun (169 km dari Lubuk Linggau), Bangko (76 km dari Sarolangun) dan Muaro Bungo (79 km dari Bangko). Jam setengah dua belas kurang kami sampai di Muaro Bungo.

Beberapa kali berkendaraan mobil lewat jalan darat ini, kami selalu mampir di restotan Simpang Raya di Muaro Bungo. Masakannya sangat sesuai dengan selera, terutama ayam popnya. Karena konon, penemu ayam pop itu adalah restoran Simpang Raya. Siang itu rencanya kami akan singgah di restoran yang sama. Aku agak lupa lokasinya. Kami berhenti di pinggir jalan, dan bertanya kepada seorang bapak yang sedang lewat. Rupanya restoran tersebut sudah tidak ada. Sayang sekali. Kami mencari restoran Padang lain.

Sesudah makan dan shalat zuhur kami lanjutkan perjalanan. Hari jam setengah satu siang. Target berikutnya adalah Sawahlunto. Jarak ke Sawahlunto sekitar 240 km. Kalau perjalanan sama lancar seperti dari Lubuk Linggau, in sya Allah kami akan sampai sekitar jam empat sore di sana. 

Ternyata agak meleset. Pertama karena ada perbaikan jalan begitu keluar dari Sungai Dareh. Satu ruas kecil jalan sedang dibeton. Hanya separo jalan yang digunakan sehingga lalu lintas diatur dengan sistim 'buka tutup'. Di depan kami ada antrian berbagai macam mobil, terutama truk-truk besar. Beruntung bahwa kami tidak terlalu lama tertahan. Rintangan berikutnya adalah hujan lebat. Di bawah guyuran hujan aku harus lebih berhati-hati sekali. Lalu-lintaspun terlihat semakin ramai baik yang searah maupun yang berlawanan arah. 

Jam setengah enam kami sampai di Santua, Sawahlunto, di rumah kakak istriku. 

**** 

Minggu, 15 November 2015

Pulang Kampung Melalui Jalan Darat (2)

Pulang Kampung Melalui Jalan Darat (2) 

Aku terbangun jam empat kurang seperempat. Langsung mandi dan bersiap-siap untuk shalat subuh. Aku memperkirakan waktu subuh di sini sekitar jam setengah lima kurang. Karena tidak ada petunjuk arah kiblat di kamar aku keluar ke mushala hotel yang sangat sederhana untuk shalat witir sambil menunggu waktu subuh. Tidak ada terdengar suara kesibukan mesjid di dekat hotel ini. Jam setengah lima aku kembali ke kamar dan shalat berjamaah bertiga. Setelah itu kami harus menunggu jam enam untuk sarapan.

Kami berangkat meninggalkan hotel jam tujuh kurang. Mampir mengisi bensin sebelum melanjutkan perjalanan. Mulanya target berikut adalah kota Bangko. Tapi sepertinya aku salah hitung. Bangko hampir 700 km jaraknya dari Kotabumi, sementara kami hanya akan jalan di siang hari. Jadi mustahil untuk sampai di Bangko sore ini. 

Mungkin karena masih pagi, jalan lumayan sepi. Aku bisa memacu mobil kami sampai masimum 80 km perjam. Kami lalui Bukit Kemuning, Martapura, Baturaja. Di Baturaja kami terhalang hampir seperempat jam di pintu kereta api menunggu kereta api pengangkut batubara lewat. Kereta api itu sangat pelan sekali jalannya dan sangat banyak gerbong batubara yang ditariknya. 

Yang agak mengesalkan bagiku adalah hampir tidak ada tanda / batu petunjuk jarak di pinggir jalan di sepanjang perjalanan ini. Kita selalu berada 'at the middle of no where'. Kita mencoba mengetahui keberadaan kami dengan bantuan GPS hapenya si Bungsu, yang sayangnya sering kehabisan baterai.  Sebelum masuk waktu zuhur kami berhenti di sebuah mesjid sebelum Muara Enim. Mesjid yang bersih dengan air yang banyak. Setelah shalat kami makan siang dulu di sini. Rupanya ada yang terlupa menceritakan. Kami membawa bekal nasi dan lauk pauk dari rumah. Ini meniru cara kami melancong di Perancis. Nasi disiapkan untuk dua hari di jalan.

Sebelum dan sesudah Muara Enim ada perbaikan jalan. Setelah Muara Enim ada bagian jalan yang sudah dikeruk aspalnya di bagian yang rusak tapi belum dirapikan dengan aspal baru. Bagian yang dikeruk itu berbentuk persegi panjang dan cukup banyak. Di jalan seperti ini kita terpaksa berjalan perlahan-lahan.   

Setelah Muara Enim kami lalui Lahat. Di sini kami mengisi bensin lagi. Seterusnya Tebing Tinggi. 15 tahun yang lalu aku ingat betul kota ini masih sebuah kampung atau mungkin kota kecamatan yang sangat sepi. Tahun 2000 yang lalu kami pernah ingin berhenti dan istirahat di sini karena sudah jam tujuh malam, tapi tidak ada penginapan. Akhirnya kami terpaksa melanjutkan perjalanan ke Lubuk Linggau. Tapi Tebing Tinggi sekarang rupanya sudah diperluas sebagai ibukota kabupaten baru, meski sebagian besar masih hutan. Ada jalan lingkar yang harus dilalui.Dan ada pemukiman-pemukiman yang kelihatan masih baru. Keluar dari Tebing Tinggi mengarah ke Lubuk Linggau ada beberapa bagian jalan yang rusak tapi tidak banyak. Kami berhenti di kampung Aer Beso, untuk shalat maghrib. 

Hampir jam setengah delapan kami sampai di hotel Hakmaz Taba di Lubuk Linggau. Sebuah hotel dengan label 'syariah'. Sebuah hotel yang lumayanlah untuk beristirahat malam itu, sesudah menyetir selama 12 jam.

****
             

Jumat, 13 November 2015

Pulang Kampung Melalui Jalan Darat (1)

Pulang Kampung Melalui Jalan Darat (1) 

Pemikiran ini timbul sejak dibawa menantu berjalan-jalan dengan mobil menempuh jarak jauh di Perancis beberapa bulan yang lalu. Melakukan perjalan jauh dengan mobil di negeri kita sendiri. Meski kondisi jalannya jelas sangat jauh berbeda. Menyetir ke kampung sudah pernah aku lakukan beberapa kali tapi itu sudah sangat lama. Yang terakhir tahun 2000. Tadinya perjalanan ini direncanakan setelah Hari Raya Aidil Fitri. Tapi waktu itu ada-ada saja halangannya. Dan akhirnya baru terlaksana pekan ini.  

Kami berangkat dari rumah di Jatibening hari Selasa tanggal 10 November, jam sembilan pagi. Kami bertiga saja, aku, istri dan puteri bungsu kami. Kami berencana untuk berjalan santai saja, hanya di siang hari. Etape pertama direncanakan sampai Kotabumi di Lampung. Udara cerah, dan jalan relatif lancar pagi itu. Hanya sedikit tersendat di tol kota antara Cawang dan Semanggi. Setelah itu benar-benar lancar. Kami sampai di Merak jam setengah duabelas dan langsung masuk ke kapal feri. Jam dua siang kami sudah sampai di Bakauheni. Dari sinilah perjalanan yang akan menempuh lebih dari seribu kilometer itu akan dimulai.

Seribu kilometer adalah jarak yang tidak heboh-heboh amat kalau  melalui jalan tol di Eropah sana, tapi di Sumatera kondisinya sangat jauh berbeda. Kita menyebutnya jalan lintas Sumatera, atau ada yang menyebut trans Sumatera. Ukuran jalan relatif kecil. Di beberapa bagian, untuk mendahului sepeda motor saja kita harus melewati sumbu jalan ke sebelah kanan. Meskipun ukurannya kecil tapi kondisi jalan di Propinsi Lampung sangat bagus nan mulus. Lalu lintas lumayan lancar antara Bakauheni dan Bandar Lampung tapi sedikit tersendat di jalan lingkar luar kota terakhir ini. 

Daerah Lampung sudah seperti Jawa saja. Nama-nama kampung dan kota banyak yang bernuansa Jawa. Di sepanjang perjalanan ini terlihat pemukiman yang sambung menyambung. Di jalan raya banyak sekali kendaraan terutama sepeda motor. Kita harus berhati-hati terutama dengan pengendara-pengendara sepeda motor ini. 

Kami melanjutkan perjalanan ke utara. Setelah berkendaraan lima jam lebih kami akhirnya sampai dengan selamat di Kotabumi, 200 km lebih dari Bakauheni. Sekitar 20 km sebelum kota ini kami berhenti untuk shalat maghrib di sebuah mesjid yang indah dan bersih. Kampung ini kelihatan makmur dengan rumah-rumah permanen dan bagus. Aku mendengar para jamaah mesjid ini berbahasa Jawa. Di Kotabumi kami langsung mencari penginapan. Ada sebuah hotel melati yang mendapat penilaian lumayan bagus dari informasi yang kami peroleh melalui internet. Namanya Graha Wisata, terletak di jalur lintas Sumatra. Di sana kami menginap malam itu. 


****

Sabtu, 07 November 2015

Nilai Kejujuran

Nilai Kejujuran    

Si Tengah menulis pengalamannya berbelanja di toko bahan bangunan layanan mandiri di Pau, Perancis. Pembeli memilih barang belanjaannya, memasukkan sendiri ke dalam kendaraannya, untuk kemudian membayar di counter yang juga dioperasikan sendiri. Silahkan masukkan barang-barang apa saja yang diambil, berapa banyaknya, kemudian bayar sesuai dengan tagihan yang diinformasikan oleh mesin counter tersebut. Si Tengah menambah komentar di bawah, seandainya hal yang sama ada di Indonesia, mungkin dalam waktu tidak terlalu lama toko yang sama akan tutup karena bangkrut. 

Toko besar seperti itu di Perancis atau bahkan di banyak tempat di Eropah, benar-benar menyerahkan urusan jual belinya kepada kejujuran para pembeli. Silahkan pilih, silahkan ambil dan setelah itu anda bayar sebanyak harga yang sudah ditentukan. Ada pompa bensin yang sama sekali tidak ada penjaganya. Kalau anda mampir untuk mengisi bensin, yang pertama sekali harus dilakukan adalah membayar untuk jumlah liter yang anda inginkan di perangkat pembayaran yang tertempel di alat pompa itu. Setelah itu anda baru bisa menekan tombol pengisian, dan bensin akan dikeluarkan sebanyak yang anda beli. Ini mungkin kecil resiko dipermainkan orang. Tapi terbayang sekali lagi, kalau di negeri kita, bisa ada saja orang yang lebih pintar untuk mengalahkan sistim canggih itu untuk ujung-ujungnya menipu. 

Di toko besar serba ada, bagian sayur dan buah, disediakan alat timbang. Letakkan barang belanjaan anda di tatakan timbangan tersebut dan anda pilih sendiri jenis sayur apa yang sedang anda timbang. Alat itu akan memberitahukan berat sekaligus harga yang harus dibayar di secarik kertas. Anda harus menempelkan kertas tersebut di kantong plastik sayuran. Seandainya ada orang tidak jujur bisakah dia menipu? Bisa saja. Misalnya barang yang anda timbang sekilo buah apel yang harganya 5 euro, tapi anda masukkan data seolah-olah itu kentang yang harganya 3 euro. Dengan sedikit resiko, seandainya hal ini ketahuan di kasir tentu anda akan dipermalukan.  

Lalu apakah semua orang yang berbelanja  di sana itu orang-orang jujur belaka? Wallahu a'lam. Yang pasti, tidak terdengar berita bahwa sebuah toko tutup karena bangkrut setelah ditipu pelanggannya. 

Kejujuran itu adalah akhlak Islami. Suatu ketika khalifah Umar bin Khaththab bertemu dengan seorang anak muda penggembala kambing yang sedang menggembalakan ratusan ekor kambing. Kkalifah Umar ingin menguji anak muda itu dengan meminta seekor kambing. Si anak muda memberi tahu bahwa kambing-kambing itu bukan miliknya dan bahwa dia hanyalah seorang penggembala. Umar bertanya, apakah majikannya mengetahui berapa ekor jumlah kambing-kambing itu? Si anak muda mengatakan tidak terlalu yakin. Kalau begitu, kata Umar, seandainya engkau ambil satu ekor, niscaya majikanmu tidak akan tahu. Si anak muda itu melotot kepada Umar dan mengatakan, 'Kalau begitu di mana Allah?'   

Orang bukan Islam melatih kejujuran dengan dasar keluhuran budi pekerti. Mereka menyebutnya moral. Seperti yang dipraktekkan sebahagian orang-orang Eropah, orang Jepang, orang Korea. Mereka dilatih sejak kanak-kanak untuk berprilaku tertib, jujur dan adil, tidak mau mengambil yang bukan hak mereka dan merasa malu ketika melanggar aturan. 

Akhlak Islam mengajarkan, seandainyapun kita bisa menipu sesama manusia, namun Allah tidak akan dapat kita tipu. Allah pasti tahu ketika kita berbuat curang. Kita seharusnya mengajarkan kepada anak-anak kita untuk senantiasa memelihara kejujuran dengan dasar takut kepada Allah. 

****                               

Jumat, 06 November 2015

Berkunjung Ke Kampus Unpad Jatinangor

Berkunjung Ke Kampus Unpad Jatinangor  

Si Bungsu dapat undangan memberi ceramah tentang kewiraswastaan dari BEM Unpad hari Rabu kemarin. Tadinya dia mau menyetir mobil sendiri ke Bandung. Tapi akhirnya, kami (aku dan istri) sepakat untuk ikut pergi meraun ke sana menemaninya. Dan itulah yang kami lakukan kemarin. Kami berangkat dari Jatibening jam 6 pagi. Jadwal dia untuk pertemuan tersebut adalah jam setengah sembilan. Kami keluar melewati Kalimalang, berputar ke jalan tol lingkar luar lalu masuk ke tol Cikampek. Di tol Cikampek tersendat sampai Bekasi Timur karena sepertinya ada kecelakaan. Tapi setelah itu alhamdulillah jalan lancar sampai ke ujung jalan tol di Cileunyi.

Kami sampai di kampus Jatinangor jam setengah sembilan kurang lima. Panitia acara sempat mengontak untuk mengetahui posisi kami ketika kami baru keluar dari jalan tol. Syukurlah bahwa kami tidak terlambat. Si Bungsu akan berada dalam acara itu menurut jadwal sampai jam setengah dua belas. Kami mencoba berkeliling di dalam kampus yang sangat luas ini. 

Aku sudah pernah mengunjungi kampus ini lebih sepuluh tahun yang lalu, memberi kuliah untuk mahasiswa geologi. Waktu itu hanya datang menuju sebuah ruangan, memberi kuliah, lalu langsung berangkat kembali. Jadi aku tidak tahu seberapa besar komplek kampus ini. Ternyata memang besar sekali. Dengan bangunan tiap-tiap fakultas yang juga besar-besar. Dan dengan kontur turun naik. Kesannya agak gersang, meski cukup banyak pohon-pohonan. Ada bus khusus untuk mengantar mahasiswa yang berjalan mengelilingi kampus. Anehnya, kemarin itu tidak banyak mahasiswa terlihat. Apakah mereka sedang sibuk di ruang kuliah? Atau di laboratorium? Hanya beberapa gelintir dari mereka yang terlihat di jalan.

Tentu saja kami tidak menghabiskan terlalu banyak waktu untuk melihat-lihat. Akhirnya kami beristirahat di mesjid kampus. Sempat bertanya-tanya sebelum menemukan lokasi mesjid tersebut. Mesjid itu cukup besar dan bersih. Jam setengah sepuluh istriku mengajak keluar karena capek juga duduk terlalu lama di dalam. Tapi mau kemana? Akhirnya kami pergi mengisi bensin. Sekalian sedikit berputar-putar di Jatinangor. Dan kembali lagi ke kampus. Kali ini kami mencari tempat parkir di bawah pohon. Lumayan adem, karena cuaca memang sangat panas. 

Sebelum jam setengah dua belas kami pindah ke tempat mendrop si Bungsu tadi (di depan Rektorat) dan menunggunya di sana. Ternyata dia baru keluar sudah hampir jam dua belas. Katanya acaranya sukses. Syukurlah. Kami kembali lagi ke mesjid untuk shalat zuhur. Sudah terlambat untuk shalat di awal waktu karena waktu zuhur jam 11.35.  

Setelah shalat kami tinggalkan Jatinangor untuk mampir dulu ke Bandung. Yang cukup membuat aku heran adalah bahwa ternyata ITB sekarang juga punya kampus di sini, persis di sebelah Unpad. Namanya Kampus ITB Jatinangor. 

Sebelum jam empat kami tinggalkan Bandung untuk kembali ke Jatibening. Perjalanan kami tersendat sejak dari Cikarang. Macet entah karena apa pula. Alhamdulillah, lewat sedikit waktu maghrib kami sudah sampai di rumah.

****