Selasa, 25 Juni 2013

Arisan Koto Mudiak Balai

Arisan Koto Mudiak Balai                   

Arisan adalah budaya kita orang Indonesia. Intinya adalah acara kumpul-kumpul untuk menyambung tali silaturrahim. Ada bermacan-macam kelompok yang biasa membina sebuah arisan. Misalnya warga sebuah RT, kumpulan orang-orang setempat kerja, anggota sebuah keluarga besar, orang sekampung halaman dan sebagainya.
 
Koto Mudiak Balai adalah kelompok persukuan kami di Ampek Angkek Canduang di Minangkabau. Kumpulan kekeluargaan yang diikat dengan sistim kekerabatan melalui garis ibu (matrilinial). Yang kemudian tentu saja dikembangkan dengan melibatkan anggota keluarganya. Lengkap dengan ipar bisan, dengan urang sumando berikut anak pisang dan sebagainya.

Anggota keluarga persukuan itu sudah 99% hijrah dari kampung kami di Ranah Minang, semua pergi berlarat-larat ke rantau.  Dan rantau yang paling banyak  berkumpul anggotanya adalah Jabodetabek. Tujuh buah rumah pusako di kampung tinggal nyaris tak berpenghuni. Bahkan ada yang sudah lapuk, dek terlalu lama ditinggalkan.

Kami punya acara arisan sekali tiga bulan. Dahulu sekali pernah dicoba sekali sebulan tapi rupanya anggotanya jadi jenuh, sehingga arisan itu pelan-pelan bubar. Sejak belasan tahun terakhir kami coba lebih realistis, cukup empat kali pertemuan setahun. Alhamdulillah sampai sekarang masih tetap berlanjut.   

Jumlah anggota keluarga itu sebenarnya cukup besar. Lebih dari seratus jiwa yang berdomisili di Jabodetabek. Tapi tidak semua berkenan ikut serta. Yang berkelapangan dan bersedia ikut, silahkan. Yang tidak bersedia tidak apa-apa.      



Hari Ahad kemarin kami mengadakan arisan di luar kota Subang. Di undang menantu / urang sumando ke sana. Dia punya usaha budidaya ikan air tawar di sebuh kampung di kaki bukit. 

Sebagian dari yang hadir sudah berada di sini sejak malam sebelumnya. Pagi-pagi mereka sudah sibuk memancing di kolam. Mendapat ikan mas, gurame, nila yang gemuk-gemuk dan besar-besar. Aku bersama istri  berangkat jam setengah delapan pagi dari rumah dan sampai di lokasi jam sebelas siang.

Di sana kami dijamu dengan masakan bermacam-macam lauk ikan air tawar. Yang dipepes atau digoreng. Makan di saung di pinggir kolam ikan. Sambil menikmati pemandangan kolam-kolam ikan yang penuh dengan beraneka macam ikan air tawar. Air benar-benar melimpah ruah di tempat itu.    

Ini adalah arisan pertemuan keluarga menjelang memasuki pulan suci Ramadhan. Sayangnya, banyak dari peserta arisan ini yang berhalangan hadir, karena berbagai alasan. Ada yang karena merawat dan menunggui orang tua, karena keluar kota, karena kurang sehat dan sebagainya. Yang menunggui orang tua ada dua keluarga. Ada dua orang ibu kami yang sudah berusia 90 tahun dan lebih. Alhamdulillah beliau masih sehat meski fisik sudah sangat lemah. Tidak mungkin untuk bepergian jauh-jauh.
                                                                
Pada setiap pertemuan ini biasanya diumumkan berita-berita keluarga. Baik berita bahagia maupun berita duka. Di samping membahas pula kondisi sekolah penghafal al Quran yang kami bina di kampung.   
 
Setelah makan bersama dan beramah tamah,   
acara ditutup dengan doa dan saling bermaaf-maafan. Jam tiga sore acara itu selesai. Kami dioleh-olehi dengan ikan mas besar-besar, masih hidup ditaruh dalam plastik yang diisi oksigen. 

Kami kembali ke Jakarta, melalui jalan yang lumayan ramai. Bahkan macet menjelang Sadang - Purwakarta. Dan macet pula di kilometer 50 tol Cikampek. 

Alhamdulillah jam delapan malam sampai dengan selamat di rumah....





Jumat, 21 Juni 2013

Gaptek Dengan Kemajuan Teknologi

Gaptek Dengan Kemajuan Teknologi    

Wynn adalah kolega di tempat aku bekerja. Seorang warga Amerika. Seorang geologist. Umurnya mungkin dua tahun dibawah umurku. Kami adalah yang paling berumur di tempat kerja. Ruangan kerja kami bersebelah-sebelahan. Di waktu senggang kadang-kadang kami ngobrol ke barat ke timur.

Beberapa hari yang lalu dia mengeluh karena tidak tahu bagaimana caranya mempresentasikan data secara jarak jauh. Kebetulan kami ditantang untuk membuat presentasi oleh calon partner di benua lain. Kami faham dengan teleconference, pernah menyaksikan dan pernah terlibat dalam percakapan jarak jauh dengan kawan-kawan di lapangan. Tapi tidak yakin hal itu akan mudah dilakukan. Dan biayanya konon lumayan mahal karena menggunakan line telepon. Paling tidak seperti itu yang aku pahami.

Tiba-tiba ada tawaran dari rekan dari IT. Kenapa tidak berkomunikasi dengan skype saja? Wynn bertanya apakah dengan skype kita bisa mengirim data. Kata orang IT, rasanya bisa (kelihatannya dia belum terlalu yakin). Kami minta mereka membuat demonstrasi.

Aku tahu bahwa untuk berkomunikasi dengan skype tidak ada masalah. Aku biasa ngobrol dengan anak-anak di Balikpapan atau di Bandung melalui skype. No problemo. Tapi mempertontonkan data untuk seterusnya menerangkan tentang data itu seperlunya? Aku belum pernah mencoba.

Dan tadi siang kami berhasil dengan percobaan itu. Setelah tersambung dengan lawan bicara melalui skype kita robah sedikit format di komputer dan setelah itu kita tampilkan gambar atau data yang ingin kita tunjukkan. Dan lawan bicara kita langsung melihat apa yang kita tampilkan itu seperti adanya. Dan kita tetap bisa berdiskusi dengan penerimanya. Hebatnya teknologi...

Setelah percobaan itu kami ngobrol, lagi.... Sambil mengagumi teknologi yang begitu pesat sejak beberapa tahun terakhir. Rupanya Wynn belum berpengalaman dengan skype.  Kalau sudah ngobrol seperti itu kami lalu membanding-bandingkan kecanggihan teknologi sekarang dengan waktu kita dulu. Waktu kita mengirim berita dengan telex. Yang pitanya berwarna kuning selebar satu sentimeter berlobang-lobang tapi bisa bermeter-meter panjangnya. Bunyi mesin telex yang gemuruh bergeritik. Memang telex itu hanya sedikit lebih maju dari telegram saja.  Dan waktu kita berkomunikasi dari kota ke lapangan dengan menggunakan radio SSB. Yang kadang-kadang sayup-sayup sampai suaranya ketika cuaca buruk.

Lalu berangsur-angsur kita saksikan kedatangan mesin faksimili. Fotokopi jarak jauh. Begitulah seterusnya sampai kita mengenal modem untuk membantu mentransmit data secara on line. Dan telepon genggam. Mulai dari spesies yang masih 'primitif'. Dan berganti model dan kemampuannya setiap saat. Sampai sekarang dengan gadget smartphone yang canggih-canggih. Yang bahkan olehku tidak terikuti. Aku masih menggunakan  hape nokia sederhana sehingga jadi bahan olok-olok anak-anak.

Untuk berpresentasi, dulu kita buat bahan presentasi yang digambar dengan tangan. Diwarnai dengan tangan. Tapi sekarang? Komputer bisa membuat segala-galanya. Mewarnai sesuka-suka kita. Lalu meyimpannya di flask disk sebesar kuku kelingking dan dapat dibawa kemana-mana dengan mudahnya. Ketika akan mempertunjukkannya tinggal dicantelkan ke laptop yang terhubung ke in focus yang memindahkannya ke layar lebar. Tunjukkanlah apa saja yang ingin ditunjukkan. Hal-hal yang tidak terbayangkan dua puluh - tiga puluh tahun yang lalu. Canggihnya teknologi yang berlari kencang. Dan kita (aku) terbirit-birit mengikutinya............

*****                                            

Sabtu, 15 Juni 2013

Kunjungan Ke Malaysia (6)

Kunjungan Ke Malaysia (6) 

Cukup memuaskan kunjungan singkat ini. Mengunjungi Genting Highland, pusat Negeri Sembilan serta melihat-lihat  kota Kuala Lumpur selayang pandang. Harus diakui bahwa pemerintah Malaysia lebih berhasil membangun dan mengatur negerinya. Ini terbukti paling tidak, secara sederhana, dari mulusnya jalan-jalan raya baik di dalam kota maupun di luar kota. Stabilnya nilai mata uang mereka sejak dahulu, yang tidak perlu berhitung ribu-ribu seperti uang di negeri kita. Dan listrik yang bisa selalu menyala dengan stabil (kecuali sedikit kekacauan di saat penghitungan suara hasil pilihan raya yang baru lalu, listrik tiba-tiba padam dan ini sangat langka di sana).  

Ketika aku bertanya siapa pemilik kebun sawit yang sebegitu luasnya, baik Suresh maupun Kamal, pemandu (sopir) yang mengantar kami sama jawabannya. Pemilik tanahnya bisa saja perorangan tapi hasil kelapa sawitnya harus dijual kepada pemerintah dan pemerintah yang menetapkan harganya. Kita tentu akan mengatakan kalau begitu, pemerintah memonopoli dong. Mungkin saja, tapi tujuannya adalah untuk mengontrol harga hasil dari kelapa sawit itu terutamanya minyak goreng. Pemerintah (mereka menyebutnya kerajaan) menetapkan harga kebutuhan pokok masyarakat yang oleh kita biasa disebut sembako. Harga-harga bahan pokok itu dikendalikan oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat, meskipun sekali-sekali pihak penguasa itu terpaksa juga harus menaikkan harganya. Dan kalau ini terjadi biasanya akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, jadi seboleh-bolehnya pemerintah berusaha menghindarinya. 

Ini jelas berbeda dengan di negeri kita dimana harga-harga pasar kebutuhan masyarakat tidak dikontrol pemerintah. Kita sangat terbiasa dengan gejolak harga kebutuhan pokok terutamanya di saat-saat menjelang hari raya. Ketika semua harga-harga naik melambung-lambung. Kita bahkan terbiasa dengan iklan barang-barang yang memberi peringatan bahwa sebentar lagi harganya akan dinaikkan. Termasuk tarif-tarif yang dimiliki oleh pemerintah seperti tarif listrik, tarif jalan tol. Dan kita biasa mendengar bahwa yang dilakukan adalah penyesuaian harga.

Aku terheran-heran ketika menyadari bahwa di tengah kota KL tidak ada rumah pribadi terpisah sendiri. Penduduk KL tinggal di apartemen, di bangunan-bangunan bertingkat. Aku menanyakan kepada Kamal yang memberi tahu bahwa memiliki rumah terpisah hampir tidak mungkin karena biayanya sangat mahal. Aku tidak tahu dimana letak mahalnya, karena menurut Kamal pula harga tanah juga dikontrol oleh kerajaan. Agak di luar atau di pinggir kota ada kompleks-kompleks perumahan yang kita kenal sebagai real estate. 

Ada kegiatan lain yang mengasyikkan selama lima hari empat malam berada di KL. Menonton acara musabaqah penghafal al Quran di tv1 setiap sore sebelum masuk waktu maghrib. Para penghafal-penghafal muda (laki-laki dan perempuan) bertanding mempertunjukkan kemampuan hafalan mereka baik yang kelas hafal 10 juz, 20 juz dan 30 juz. Umur peserta itu rata-rata masih belasan tahun. Ada banyak pengawas dan dewan juri  yang sudah berumur. Cara pengujiannya, seorang pengawas meminta peserta musabaqah membaca surah sekian, ayat sekian sampai sekian di halaman sekian dari al Quran. Pengawas atau penguji ini membacakan awal dari ayat yang dimintakan, lalu peserta disuruh mengulang dan meneruskannya. Jika peserta terlupa atau keliru ada seorang pengawas yang mengingatkan dengan memperbaiki bacaan yang keliru itu. 

Kita yang menonton juga dapat menyimak karena ayat yang sedang dibacakan itu dipertunjukkan pula di layar tv. Ternyata bacaan- bacaan para hafidz muda itu sangat elok baik dari segi tajwij maupun kesempurnaan bacaannya. Acara itu dilangsungkan di negeri Pulau Pinang yang mayoritas penduduknya adalah keturunan Cina.

Tidak adakah kekurangan? Sepertinya ada juga. Kalau kita menginap di kebanyakan hotel di Jakarta atau di Jogya atau di Bandung, kita masih dapat mendengar suara azan setiap masuk waktu shalat. Di hotel tempat kami menginap di Bukit Bintang, tidak sekali juga aku mendengar suara azan dari mesjid. Padahal surau atau mesjid tempat shalat Jumat sangat dekat dari hotel itu. Kenapa demikian? Kabarnya, di lingkungan-lingkungan tertentu yang masyarakatnya lebih dominan bukan Islam, suara azan dilarang dikumandangkan ke luar mesjid. Wallahu a'lam kebenarannya.  

Terakhir sekali, ada beberapa orang kenalan di RantauNet baik yang tinggal di KL maupun di luar KL yang tadinya diharapkan bisa bertemu selama kunjungan singkat itu. Tapi karena kesibukan mereka dan jadwal kami sendiri, tidak sempat berjumpa.

Demikianlah cerita singkat tentang kunjungan ke  Malaysia ini. Mudah-mudahan kalau diizinkan Allah kapan-kapan diulangi pula kembali.

*****                                

Jumat, 14 Juni 2013

Kunjungan Ke Malaysia (5)

Kunjungan Ke Malaysia (5) 

Di dinding musium (bekas istana lama Yang Dipertuan Besar itu), ada terpampang silsilah  serta keterangan tentang penguasa pertama Negeri Sembilan yang didatangkan dari Pagar Ruyung. Tersebutlah bahwa Yang Dipertuan Besar (disingkat juga Yamtuan Besar) pertama yang dijemput ke Minangkabau adalah Raja Malewar. Beliau memerintah antara tahun 1770 sampai 1795. Ketika beliau mangkat dikirimlah kembali utusan menjemput raja baru ke Minangkabau.  Kali ini diutus Raja Hitam untuk menjadi raja baru. Beliau ini menikahi puteri Raja Malewar. Raja Hitam berkuasa sampai dia mangkat tahun 1808. Lalu ketika Raja Hitam mangkat dikirim pula utusan kembali ke Pagar Ruyung. Kali ini yang dikirim adalah Raja Lenggang yang memerintah sampai tahun 1824.

Sepeninggal Raja Lenggang, karena di Minangkabau sedang terjadi perang Paderi dan raja-raja di Pagar Ruyung sedang bermasalah dengan kaum Paderi, tidak dikirim lagi utusan menjemput raja baru ke Minangkabau. Yang diangkat jadi raja berikutnya adalah putera Raja Lenggang yang bernama Raja Radin. Yang terakhir ini kemudian digantikan oleh adiknya Raja Imam. Sepeninggal Raja Imam terjadi persaingan antara putera Raja Radin dengan putera Raja Imam untuk berkuasa. Tapi dewan penasihat raja, memilih putera Raja Radin, yang bernama Tengku Antah untuk memerintah. Yang Dipertuan Besar sampai sekarang adalah keturunan dari Raja Antah ini. Begitulah ceritanya.

Ada sebuah peta yang menunjukkan jalur perjalanan menjemput raja ke Pagar Ruyung itu, yakni dari Pagar Ruyung melalui Jambi, turun ke Palembang lalu dari Palembang berlayar ke arah pulau-pulau Lingga dan seterusnya menuju pantai barat Semenanjung dekat Negeri Sembilan. Entah berapa lama waktu yang diperlukan untuk pergi dan pulang menempuh jalan yang cukup panjang itu.

Lingkungan di sekitar istana lama di Sri Menanti itu banyak kemiripannya dengan tempat berdirinya 'Ustano Rajo di Pagar Ruyung' yang sekarang. Di sebuah lembah datar di lingkung bukit dan tidak jauh dari kaki bukit. 

Istana kayu di Sri Menanti itu selesai dibangun tahun 1908 di saat pemerintahan Raja Muhammad. Tidak diketahui dimana letak istana raja-raja sebelumnya.

Masih di dalam istana itu, ada foto Yang Dipertuan Besar Abdur Rahman bersama Tengku Abdur Rahman Putera dan Gubernur Jenderal Inggeris terakhir ketika Semenanjung Malaya memperoleh kemerdekaan dari Inggeris di tahun 1957. Yang Dipertuan Besar Abdur Rahman adalah Yang Dipertuan Agong Malaya yang pertama. Wajah beliau ini diabadikan di uang kertas ringgit Malaysia sampai sekarang. Beliau adalah putera dari Yang Dipertuan Besar Muhammad putera dari Yang Dipertuan Besar Antah.

**

Kami tinggalkan kompleks Istana Sri Menanti itu jam setengah dua siang. Tidak ada perkampungan dengan perumahan rakyat di sekitar kompleks itu. Setelah agak jauh dari komplek itu barulah kami menemukan rumah-rumah masyarakat terpisah-pisah di pinggir jalan raya. Ada sedikit sawah di samping hutan di kaki bukit, di pinggir jalan itu. Aku baru sadar, bahwa inilah pertama kali aku melihat sawah selama perjalanan dari KL. Yang jauh lebih dominan adalah kebun kelapa sawit. Aku bertanya kepada Kamal, dari mana orang Malaysia mendatangkan beras karena sepertinya di sepanjang jalan yang aku lalui hampir tidak pernah terlihat sawah. Kamal menjawab ada negeri penghasil beras di Malaysia, tapi dia lupa negeri mana.

Tidak terlihat adanya restoran di sepanjang jalan yang kami lalui. Aku menanyakan hal itu kepada Kamal. Katanya kalau mau mencari restoran mungkin harus masuk kota Seremban. Rupanya di sekitar Sri Menanti ini tidak terlihat sama sekali keberadaan rumah makan. Membuat rumah makan di tepi jalan tidak ditiru orang Negeri Sembilan dari saudara mereka di Minangkabau. Meskipun sebenarnya perut sudah cukup lapar, kami sepakat untuk mencari tempat makan di KL saja, yang akan dicapai lebih sedikit dari satu jam menurut Kamal.

Kami lalui warung-warung kecil di pinggir jalan, yang menjual ayam dan itik bakar, digantung sedemikian rupa. Istriku melihat ada juga lemang dalam tabung bambu di salah sebuah warung pinggir jalan itu. Kami minta Kamal berhenti di sebuah warung. Ada bebek dan ayam bakar serta ikan lele bakar yang dijualnya. Bebek, ayam dan lele itu rupanya harus dimasak (digoreng atau digulai) lagi sebelum dinikmati.

Dengan percaya diri aku sapa ibu pemilik warung itu berbahasa Minang. Kecele. Ternyata dia tidak bisa. Rupanya tidak semua penduduk di sekitar Sri Menanti pandai berbahasa Minang. Dia juga menjual rendang yang dipak dalam kotak plastik. Kami beli satu tabung lemang dan sekotak rendang. Rasanya ternyata biasa-biasa saja. Tapi lumayanlah sekedar pengganjal perut lapar.

Lalu kami teruskan perjalanan ke KL. Kamal bercerita tentang aturan kecepatan kendaraan di jalan tol yang dikawal cukup keras. Kecepatan maksimum adalah 100 km per jam. Di tempat-tempat tersembunyi diletakkan kamera tv untuk memonitor kecepatan kendaraan yang lalu lalang. Kendaraan yang melanggar akan direkam dengan sangat rinci sehingga pengemudinya tidak mungkin memungkiri. Pemilik kendaraan itu akan dikirimi tagihan denda RM 300 untuk pelanggaran yang harus dibayar sendiri. Kalau tidak dibayar, si pelanggar diancam akan dituntut di pengadilan dan hukumannya akan lebih berat. 

Kami sampai di KL dalam cuaca cerah. Atas saran Kamal kami pergi makan ke restoran nasi Kandar. Restoran masakan India yang banyak peminatnya. Kami harus antri. Di sini kita dilayani pelayan restoran yang menyandukkan nasi lemak (nasi Kandar) dan lauk yang kita pilih. Kami makan dengan gulai kambiang urang Kaliang dan sayur lainnya. Yang ternyata bolehlah. Sampai berpeluh-peluh kami makan. Harganya pertengahan antara di kedai mamak (biasa) dekat hotel dan restoran Minang kemarin.

Sesudah makan, kami diantarkan ke penginapan. Sebelum berpisah Kamal minta maaf atas insiden kecil 'soal harga' tadi pagi. Aku membayar sesuai perjanjian tapi aku tambahkan juga Rm 10 sebagai tip. Kamal berulang-ulang mengucapkan terima kasih.

****
                             

Kunjungan Ke Malaysia (4)


Kunjungan Ke Malaysia (4)  

Sore itu aku telepon kembali Prakash, minta tolong dicarikan lagi mobil untuk pergi ke Sri Menanti di Negeri Sembilan hari Minggu besok. Dia bilang untuk kesana ongkosnya RM 450. Aku tidak setuju dengan harga itu dan minta dia mencarikan mobil yang sama dengan sewa mobil si Suresh. 'Tidak mungkin bisa pak,' katanya. 'Jaraknya lebih jauh dari ke Genting Highland.' Aku tetap ngotot minta tolong dicarikan mobil dengan sewa tidak lebih dari RM 300. Kalau tidak dapat juga, mungkin kami akan mencoba naik kereta api besok.

Sesudah shalat maghrib ada yang menelepon. Aku sangka si Prakash tapi ternyata bukan dia. Orang ini bertanya apakah benar aku ingin menyewa mobil untuk pergi ke Negeri Sembilan. Aku mengiyakan. Dia bertanya lagi, apakah aku mau naik taksi. Aku agak bingung. Apakah maksudnya taksi dengan argometer dijalankan. Dia jawab, tidak. Bapak bayar RM 300 untuk pergi sampai ke Sri Menanti di Negeri Sembilan, katanya. Dalam hati aku pikir boleh juga usulan ini. Tapi tunggu dulu. Apakah taksinya sebuah mobil tua? Aku membayangkan kalau-kalau taksi itu Proton Saga tua, seperti taksi yang pernah ada di Jakarta tapi sudah tidak beredar lagi itu.  Dia bilang, taksi baru. Baru empat bulan jalan, katanya. Aku berusaha usil dan menawar RM 250. Tidak tahunya, alhamdulillah, setelah tawar menawar sebentar akhirnya dia setuju. Hebatnya lagi, beberapa menit kemudian dia mengirim sms dengan berita konfirmasi bahwa sudah saling disetujui, mobil dengan pengemudi bernama Kamal akan mengantar kami besok sampai ke Sri Menanti, dengan biaya RM 250.

Jam sembilan kurang seperempat hari Minggu pagi aku ditelepon oleh Kamal, mengatakan bahwa dia sudah sampai di hotel. Kami segera turun. Tadinya aku mengira Kamal ini orang Melayu dan bahkan mungkin orang Minang. Ternyata dia seorang India Muslim.


Kami langsung berangkat menuju ke selatan. Cuaca agak mendung di pagi itu. Bahkan sempat turun hujan di jalan yang kami lalui. Kamal seorang yang banyak cerita. Jauh lebih ramai dari sopir kemarin. Kami bercerita tentang politik. Tentang partai di Malaysia, tentang pilihan raya umum yang diadakan beberapa minggu yang lalu.

Dia bercerita bahwa dia belum pernah pergi ke Sri Menanti. Tapi tahu dimana kira-kira letaknya. Aku bilang, ya baguslah. Tentu tidak akan susah mencarinya.

Dalam hati aku mengagumi jalan raya (tol) yang mulus dan tidak macet ini. Pemandangan di kiri kanan jalan bergantian antara hutan dan kelapa sawit. Lebih kurang satu jam berkendaraan kami sampai di Seremban, ibukota negeri Sembilan. Di sebuah penunjuk jalan terbaca olehku  'Makam Tuanku Tambusai 6 km'. Aku minta agar Kamal mencari makam itu. Aku ingin berziarah ke makam pahlawan perang Paderi itu.
Kamal berusaha mencari makam itu, tapi petunjuk kesana hanya satu kali yang tadi itu saja. Kami sempat berputar-putar dan bertanya, tapi makam itu tidak bertemu. Aku bilang sudah saja, kalau tidak ketemu tidak apa-apa.

Kami dibawa singgah ke Komplek Taman Seni Budaya dengan arsitektur Minangkabau seperti gambar di sebelah ini.

Tapi sementara itu terjadi sesuatu keanehan diluar rencana. Kamal tiba-tiba komplain bahwa jalan ke Sri Menanti jauh dan tidak jalan tol. Jalannya sempit. Dia tiba-tiba merasa keberatan untuk mengantar kesana. Padahal, menurut dia pula, jaraknya lebih kurang empat puluh kilometer lagi saja. Kalau harus pergi sampai kesana, harga sewa yang sudah disepakati harus ditambah.

Wah, ini sesuatu yang agak mirip-mirip dengan di suatu tempat di negeri antah berantah. Aku bilang bahwa aku tidak akan menambah apa yang sudah disepakati. Aku perlihatkan sms temannya yang aku terima tadi malam. Dia berbicara dengan temannya tersebut (katanya bernama Salim) dalam bahasa India. Kamal bilang  bahwa Salim ingin berbicara denganku.  Aku menerima telepon itu. Salim minta-minta maaf, dan meminta agar biaya ke Sri Menanti ditambah 'sedikit' lagi. Aku bilang tidak. Kalian yang lebih tahu dariku berapa jauh letak Sri Menanti itu dari KL, aku tidak tahu. Lalu ketika harga sewa sudah disetujui, aku tidak akan mau merobahnya.

Tapi untunglah akhirnya Kamal mau  meneruskan perjalanan. Dia katakan bahwa Salim temannya itu sebenarnya yang salah, karena tidak memeriksa dengan jelas berapa jarak ke tujuan sebelum menetapkan harga. Aku bilang, bukankah dari tadi kamu sudah tahu tujuan kita. Katanya, dia pikir ada jalan tol sampai kesana.

Kami meneruskan perjalanan. Alhamdulillah suasana segera cair, setelah aku dengan sederhana mengatakan bahwa aku sebagai tamu tidak tahu dimana letak Sri Menanti tapi dengan sangat jelas meminta diantarkan kesana, dan disepakati ongkosnya. Aku pegang kesepakatan itu saja.         

Jalan ke Sri Menanti itu ternyata sangat mulus meski bukan jalan tol.  Kadang-kadang jalan itu terletak di antara dua bukit dengan hutan perawan. Tidak sampai satu jam kemudian kami melihat petunjuk jalan menuju istana Sri Menanti. Kami berbelok menuju arah yang ditunjukkan. Jalan itu mendaki, mengecil dan sepi. Tidak ada rumah atau bangunan apa-apa di kiri dan kanan jalan. Kami sampai di ujung jalan yang ditutup oleh pagar berkunci gembok. Di belakang pagar terlihat sebuah bangunan tembok berwarna putih tapi sepi sekali. Tidak ada satu orang pun disana.


Kami kembali ke jalan keluar. Mendekati jalan raya sebelum berbelok tadi. Ada petunjuk ke arah musium dan istana. Kami menuju kesana. Kali ini ternyata salah lagi. Sebuah bangunan yang kami duga sebagai musium ternyata sebuah sekolah. Ada seorang petugas di sekolah itu yang menunjukkan lokasi musium.

Terlihat ada beberapa buah bangunan beratap gonjong di dekat tempat yang ditunjukkan itu. Bangunan itu jelas bukan musium. Dan tidak ada orang.


Di dekatnya ada  mesjid sultan yang sekali lagi, sayang pagarnya ditutup.

Agak terpisah ada jalan lain menuju istana. Kali ini agaknya istana yang sesungguhnya. Tapi jalan itupun ada pagar yang tertutup dan dikunci pula. Di dalam terlihat taman yang tertata rapi di kiri dan kanan jalan jalan menuju istana yang tampak di kejauhan. Kelihatannya istana ini tidak untuk dikunjungi turis atau orang yang datang sekedar melihat-lihat seperti kami saat itu.

Foto di samping ini adalah istana Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan yang sesungguhnya. Ada bangunan lain di latar depan yang tidak diketahui apa kegunaannya.

Ada pengumuman di luar pagar menjelaskan siapa dengan tujuan apa saja yang bisa datang menghadap Yang Dipertuan Besar.

Kami hanya mengambil foto dari luar pagar. Istana ini juga tidak ada penjaga atau pengawalnya untuk tempat bertanya. Jadi kami segera berlalu pula.

Akhirnya kami sampai di istana lama yang sekarang dijadikan musium. Istana kayu yang dibangun di awal abad kedua puluh.

Kami masuk ke dalam istana yang musium ini sesudah mengisi buku tamu. Seorang tua petugas buku tamu itu menyapa kami dengan bahasa Minang. Inilah dia. Akhirnya kami sampai juga di negeri balahan orang Minangkabau ini.

Musium itu ditata seolah-olah masih ditempati oleh raja. Istana yang tidak gemerlap-gemerlap sangat. Ada mahligai, tempat tidur, ruang makan dengan meja makan lengkap dengan piring dan cawan seolah-olah akan digunakan untuk jamuan makan. Sayang di dalam ruangan istana itu dilarang mengambil foto.

*****

Rabu, 12 Juni 2013

Kunjungan Ke Malaysia (3)

Kunjungan Ke Malaysia (3) 

Aku menghubungi pengemudi van yang memberiku kartu nama tadi siang. Namanya Prakash. Aku jelaskan keinginanku untuk menyewa mobil untuk pergi ke bukit Genting. Dia menanyakan berapa orang yang akan pergi. Aku jawab, hanya kami berdua orang saja. Kalau begitu bisa menggunakan mobil lebih kecil, katanya. Dia menawarkan mobil Innova (yang di sana tidak pakai nama tambahan Kijang). Sewanya RM 300, bisa dipakai sampai jam empat sore. Sewa itu sudah berkurang dari yang aku dapat dari beberapa informasi sebelumnya. Aku coba menawar, dia bersikukuh bahwa harga sedemikian itu adalah yang paling murah dan tidak bisa diturunkan lagi. Aku beritahu bahwa aku tidak akan memerlukan mobil sampai jam empat sore. Tidak masalah, jawabnya. Mobil itu akan dihitung disewa satu hari. Ditambahkannya lagi, bahwa dia akan mengirim Innova baru. Baru beberapa hari ini mulai dipakai. So what? Aku tidak perlu mobil baru sekali. Tapi, ya sudahlah. Aku akhirnya menerima tawarannya. Mobil itu akan menjemput kami jam sembilan besok pagi.

Jam sembilan kurang hari Sabtu, aku ditelepon oleh seseorang yang memperkenalkan namanya sebagai Suresh. Dia sudah menunggu di bawah, katanya. Kami bersiap-siap untuk turun. Dari lobby hotel aku telepon dia kembali dan dia segera datang dengan mobil Innovanya. Suresh adalah seorang India Hindu, dengan hiasan bintik merah di antara kedua matanya. Cukup ramah. Kami pun berbual-buallah (dalam bahasa Melayu). Dia menawarkan apakah kami berminat unuk mampir di Batu Cave, sebuah bukit dengan gua yang digunakan masyarakat Hindu India sebagai tempat peribadatan khusus. Tawaran itu tentu saja kami terima. 
Batu cave adalah sebuah bukit batu gamping setinggi kira-kira dua ratus meter. Ada gua di bagian atas dan ada tangga menuju ke gua tersebut. Cukup banyak orang yang menaiki tangga menuju ke gua di pagi itu. Kami tidak ikut naik. Di depan gua ada patung besar berwarna kuning emas. Kata Suresh itu patung dewa Moran, adik dewa Ganeca. Kami mendengarkan saja ceritanya. Ada banyak burung merpati jinak-jinak.

Kami tidak berlama-lama di Batu Cave. Tujuan utama adalah ke dataran tinggi atau bukit Genting. Tapi sebelumnya kami dibawa mampir ke toko oleh-oleh tidak terlalu jauh dari Batu Cave.
Setelah berbelanja oleh-oleh barulah kami menuju sasaran utama. Suresh membawa kami ke stasiun kereta kabel sesuai permintaan. Kami akan naik kereta kabel ke bukit utamanya. Aku tidak punya bayangan sama sekali tentang medan menuju ke puncak bukit itu.

Suresh menolong membelikan dua buah tiket kereta kabel untuk pulang pergi. Satu tiket untuk satu arah harganya RM 6.0.

Sangat ramai pengunjung pagi itu dari berbagai bangsa. Ada turis Arab (Saudi?), Viet Nam, kulit putih dan kami.

Setiap kereta bisa membawa delapan orang. Tapi ternyata petugas yang mengaturnya tidak memaksakan harus delapan orang. Kereta itu datang sambung menyambung. Di kereta yang kami naiki, penumpangnya hanya berempat orang saja.

Bersama kami ada dua orang Cina dari Pulau Pinang yang datang untuk berjudi. Mereka mendapat fasilitas hotel gratis. Boleh jadi mereka memang pemain judi kelas kakap. 

Naik kereta kabel ini cukup mendebarkan. Ternyata kereta kabel ini ada kalanya mendaki dengan sudut lebih dari 60 derajat ke puncak bukit. Mulanya cukup berdebar-debar juga.
Perjalanan kereta dari stasiun di bawah sampai ke puncak bukit memakan waktu dua puluh lima menit. Melalui medan yang terjal di atas hutan belantara perbukitan. Sebuah pengalaman yang mengasyikkan. Aku berkhayal kereta seperti ini diadakan di Bukit Tinggi melalui Ngarai Sianok, terus ke Koto Gadang, mendaki sampai ke Puncak Lawang. Pasti akan sangat mempesonakan. Atau bahkan direntang sampai ke puncak Gunung Singgalang. Pasti akan jauh lebih indah.

Sampai di puncak bukit kami menemukan beberapa bangunan hotel besar. Konon semuanya adalah tempat berjudi. Ada juga  tempat bermain anak-anak. Kami tidak mengunjunginya. Kami mampir di sebuah kedai kopi untuk sekedar beristirahat sejenak.


Kira-kira empat puluh lima menit kemudian kami turun untuk kembali  ke stasiun pemberangkatan pertama tadi. Berada dalam kereta kabel dalam perjalanan menurun di sebuah lereng bukit yang kemiringannya lebih dari enam puluh derajat, cukup menggetarkan perasaan. 

Dari stasiun kereta kabel kami diantar Suresh mengunjungi kebun strauberi. Inipun merupakan objek turis disertai dengan toko-toko yang menjual aneka macam dagangan. Tidak melulu produk kebun strauberi.  Ada kira-kira empat puluh lima menit pula kami berputar-putar dalam kebun itu, yang jalan keluarnya dibuat berputar-putar melalui jajaran banyak kedai-kedai.

Lalu kami kembali ke KL. Aku minta Suresh mencarikan restoran Padang. Dia menyebut nama restoran Sari Ratu. Sebuah restoran cukup besar. Aku mengajak Suresh makan bersama-sama, tapi dia minta ijin untuk makan sendiri di bagian luar  restoran. Hidangan rumah makan itu asli Minang. Sabana lamak... Namun cukup mahal. Kalau di restoran kedai mamak, kami cukup makan RM 20 berdua, disini aku membayar RM 79 untuk bertiga. 

Hari baru jam setengah tiga waktu Malaysia. Suresh membawa kami berkeliling kota, termasuk mengunjungi menara kembar Petronas. Dia menanyakan apakah aku ingin naik ke puncak menara. Aku tidak berminat. Tambah tidak berminat ketika diberi tahu bahwa untuk naik ke puncak menara itu harus membayar RM 88 per orang.

Akhirnya setelah berputar-putar di tengah kota kami diantarkannya ke penginapan. Sebelum berpisah aku menanyakan apakah besok dia masih bisa menemani kami lagi. Ternyata dia sudah punya janji dengan orang lain. Selesai kunjungan wisata kami untuk hari Sabtu itu.

****                              

Selasa, 11 Juni 2013

Kunjungan Ke Malaysia (2)

Kunjungan Ke Malaysia (2)  

Agak kagok membiasakan diri dengan waktu Malaysia. Karena waktunya satu jam lebih cepat dari WIB. Padahal posisinya lebih ke barat dari Jakarta. Hari pertama waktu kami menunggu masuknya waktu maghrib sambil menonton tv, dalam cuaca mendung, sudah jam tujuh lebih (yang adalah sama dengan jam enam WIB) tapi belum masuk waktu. Azan maghrib di tv itu berkumandang jam tujuh lebih dua puluh menit. Padahal di Jakarta waktu isya jam tujuh lebih lima menit. Hari Jum'at subuh, meski agak ragu-ragu, apalagi sepertinya tidak ada azan subuh di tv, kami mengira-ngira saja kalau waktu subuh adalah jam enam lebih sepuluh menit alias  jam lima lebih sepuluh WIB. Ini yang membuat kagok. Shalat maghrib hampir jam setengah delapan sore dan shalat subuh jam enam lebih di pagi hari. Rasanya aneh.

Hari Jum'at pagi itu kami pergi berjalan-jalan ke mall, yang hanya beberapa puluh meter jaraknya dari hotel. Sekedar melihat-lihat, dan sambil mencari info untuk pergi berkunjung ke tempat yang diniatkan. Ada buklet kecil tentang paket wisata di hotel, bahkan dari informasi yang aku peroleh di internet. Biaya kunjungan ke Genting Highland RM 180 per orang. Jaraknya hanya sekitar lima puluh kilometer saja. Rasanya mahal sekali, meski disebutkan bahwa waktu kunjungan selama delapan jam. Kalau perjalanan pulang pergi tidak akan sampai dua jam, lalu apa yang akan dikerjakan di sana, sementara kami pasti tidak akan ikut berjudi? Aku ingin mencari biro wisata di mall itu.  

Setelah bertanya di bagian informasi, kami mendapatkan sebuah kantor penyelenggara wisata itu di lantai tujuh. Di sana aku diberi tahu bahwa mereka menyediakan van alias minibus dengan kapasitas sembilan penumpang. Minibus seperti itu yang sewanya RM 350. Barulah aku agak faham, bahwa biaya RM 180 yang ditawarkan buklet itu adalah untuk peserta dua orang. 

Karena aku akan pergi shalat Jumat kami segera keluar dari mall itu. Begitu keluar, aku melihat dua buah van seperti yang diceritakan petugas biro perjalanan tadi, sedang tertahan oleh antrian beberapa mobil, tidak bisa keluar ke jalan raya. Aku hampiri sopirnya dan aku tanya apakah aku bisa menyewa mobilnya untuk ke Genting. Dia memberikan kartu namanya dan menyuruh agar aku menghubunginya nanti.    

Kami kembali ke hotel. Dari petugas sekuriti hotel aku mendapatkan informasi letak mesjid terdekat, yang ternyata  sekitar seratus meter saja jaraknya. Aneh, bahwa tidak pernah terdengar suara azan dari mesjid itu. Mereka menyebutnya surau, tapi dengan catatan tempat shalat Jumat. Tadi di mall aku juga sempat membaca petunjuk di mana terletak surau untuk laki-laki dan untuk perempuan. Surau maksudnya tempat shalat alias mushala dalam pengertian kita. Kata mesjid digunakan untuk mesjid besar, seperti mesjid negara atau mesjid sultan, yang dapat menampung ribuan jamaah.                            

Pulang dari shalat Jumat, kami pergi makan siang ke kedai mamak yang lain. Sama ramainya. Rasa makanan di sini sedikit lebih enak dari yang kemarin.  Lalu sesudah itu kami mencoba monorail yang stasiunnya sangat dekat dengan tempat kami makan. Kami beli tiket untuk stasiun terakhir yang harganya RM 2.10. Di stasiun terakhir itu kami tidak keluar dari stasiun. Aku menanyakan apakah kami harus membeli tiket lagi untuk kembali. Jawabannya, tidak perlu karena kami tidak keluar dari pelataran stasiun. Kami ikut lagi dengan kereta yang sama. Akhirnya kami turun dan keluar di stasiun Chow Kit. Aku ingat sebuah informasi bahwa di daerah ini banyak pedagang urang awak

Kami mampir di sebuah kumpulan toko kain karena istriku ingin membeli baju Melayu. Kumpulan toko bersebelah-sebelahan mirip Pasar Kembang di Bandung. Wanita pedagang dan penjaga toko menyapa kami dengan panggilan bapak / ibuk. Aku iseng bertanya, benarkah di pasar itu banyak pedagang dari Minang. 'Awak urang Minang mah pak,' jawabnya. Dia bercerita bahwa dia datang ke KL sejak dua puluh tahun yang lalu dan sekarang sudah jadi warga Malaysia. Di kedai sebelah aku dengar orang berbicara bahasa Jawa. Menurut si mbak itu, umumnya pedagang di kompleks yang sama kalau bukan orang Minang, ya orang Jawa. Mereka sekarang sudah jadi warga Malaysia.  

Setelah selesai dengan perbelanjaan di toko kain itu kami kembali menuju ke stasiun monorail. Penumpang kereta itu kali ini lebih berdesak-desak. Rupanya habis jam kantor. Kami kembali ke penginapan.  

****                         

Senin, 10 Juni 2013

Kunjungan Ke Malaysia (1)

Kunjungan Ke Malaysia  (1)

Sudah sejak lama aku ingin pergi melancong ke negeri jiran. Terlebih-lebih untuk mengunjungi Negeri Sembilan, negeri yang mempunyai hubungan khusus dengan Minangkabau. Tapi selama ini selalu saja ada kendala sehingga tidak pernah kesampaian. Alhamdulillah, hari Kamis tanggal 6 Juni kemarin rencana itu dapat direalisasikan. Sebuah kunjungan yang direncanakan secara matang sejak beberapa pekan sebelumnya. Tiket pesawat dan hotel aku pesan melalui internet. 

Hari Kamis pagi,  sesudah shalat subuh, aku dan istri berangkat dari rumah. Kami berangkat dengan pesawat Mandala yang take off jam 7.30. Alhamdulillah, semua berjalan lancar pagi itu. Jalan ke bandara tidak macet, mungkin karena masih subuh dan di hari libur pula. Jam enam kurang kami sudah sampai di bandara, mendapatkan antrian cukup panjang di loket check -in Mandala. Rupanya check in untuk beberapa penerbangan ke tujuan berbeda sekaligus.

Pesawat kami berangkat tepat waktu. Jam setengah sebelas waktu Malaysia kami mendarat di bandara Kuala Lumpur. Kami harus ikut antrian panjang di imigrasi, sebelum  menuju ke tempat pengambilan bagasi.  Di tempat pengambilan itu ban berjalannya sudah berhenti dan barang / bagasi bergeletakan di samping ban berjalan. Kami segera mendapatkan koper kami dan langsung menuju ke luar. Aku membeli dua karcis bis a RM 9 untuk tujuan KL Sentral. Lumayan agak jauh juga kami harus berjalan menuju ke tempat pemberhentian  bis. Jarak bandara ke pusat kota Kuala Lumpur sekitar 50km. Karcis bis RM 9 itu setara dengan harga tiket bis Damri dari bandara Soeta ke Bekasi yang jaraknya juga lebih kurang sama.  Kalau kita naik taksi dari bandara KL ke pusat kota biayanya mungkin mencapai RM 100, yang sama dengan Rp 320,000. Artinya dua kali lipat ongkos taksi di Jakarta. 

Bis melaju di jalan raya yang mulus dan tidak macet. Di kiri kanan jalan terlihat hamparan kebun kelapa sawit. Kebun kelapa sawit ini berlanjut sampai mendekati kota Kuala Lumpur. Mendekati kota kami lihat pula 'hutan' yang masih terpelihara. Dengan warna hijau yang menyejukkan mata. 

Dalam waktu sekitar 45 menit kami sampai di Sentral, di sebuah pemberhentian bis yang tidak terlalu rapi. Setelah bertanya bagaimana caranya untuk mendapatkan taksi, kami melangkah menuju counter taksi beberapa puluh meter dari tempat kami turun dari bis. Kami harus membeli tiket seharga RM 2 untuk mendapatkan taksi. Taksi berwarna biru dan mobilnya masih baru. Setelah taksi itu berjalan meninggalkan Sentral dan berbincang-bincang dengan sopir taksi, baru aku mengerti bahwa taksi tersebut adalah taksi eksekutif yang biaya (argometer)nya dua kali lebih cepat dari taksi reguler. 

Mataku menangkap masih banyak taksi Proton Saga seperti taksi (aku lupa nama perusahaannya, kononnya perusahaan taksi milik mbak Tutut) hilir mudik di jalan. Taksi dengan mobil sejenis di Jakarta sudah tidak beroperasi lagi.  

Jarak ke hotel Furama dari Sentral ternyata tidak terlalu jauh. Beberapa menit saja kami sudah sampai. Ongkos taksi eksekutif RM 18.60. Kami check in tapi belum bisa masuk kamar, karena kamarnya belum disiapkan. Waktu menunggu menjelang kamar siap kami pergunakan untuk pergi mencari restoran. Sebenarnya, di jalan di depan hotel berbaris banyak sekali restoran Cina. Kami perlu bertanya dimana  dapat menemukan restoran Melayu atau paling tidak restoran halal. Dan kami diberitahu sebuah restoran 'mamak' (restoran peranakan India Muslim) yang beberapa ratus meter jaraknya dari hotel.  

Restoran itu cukup ramai pengunjungnya. Di situ kita mengambil sendiri nasi dan lauk yang kita inginkan lalu setelah itu maju ke tempat kasir dan langsung membayarnya. Rasa masakannya yang terlihat agak mirip masakan Padang, berkuah santan dan berlado, ternyata sedang-sedang saja. Tapi karena perut sedang lapar-laparnya, makanan itu kami nikmati juga.   

Sehabis makan kami kembali ke hotel. Sore itu kami tidak pergi kemana-mana karena cuaca agak mendung. Malamnya kami kembali lagi ke restoran 'mamak' tadi, yang rupanya tidak seramai tadi siang. Kami mencari informasi untuk pergi ke Genting Highland dan ke Negeri Sembilan. Masing-masing akan kami kunjungi hari Sabtu dan Minggu berikutnya. 

****                 

Minggu, 02 Juni 2013

Dua Buah Undangan Walimahan

Dua Buah Undangan Walimahan

Ada dua buah undangan yang kami datangi tadi siang. Yang pertama dari teman sekantor di Balikpapan dulu. Teman sekantor itu sendiri sudah almarhum. Istrinya masih aktif di acara pertemuan ibu-ibu mantan karyawan (pensiunan maksudnya) di kantor. Acara ngunduh mantu, yang diadakan di rumah kediaman keluarga itu di daerah Rawamangun. Sebuah acara yang apik. Kami bertemu dengan beberapa teman pensiunan di acara tersebut. Ada yang sangat jarang berjumpa meski di acara undangan-undangan yang lain. Dan bertemu pula dengan mantan ketua Yayasan Ar Rahman di Balikpapan dulu, yang aku sendiri adalah wakilnya ketika itu. Lumayanlah, kami sempat bernostalgia. Sayang kami tidak bisa berlama-lama, karena kami mempunyai undangan kedua. 

Yang ini dari seorang ustadz (beliau ini salah satu ustadz pembimbing ketika kami melaksanakan ibadah haji tahun 2004) yang menikahkan puterinya. Kebetulan tempatnya di sebuah gedung di jalan Haji Naman, yang lebih dekat ke tempat tinggal kami di Jatibening. 

Waktu kami sampai di tempat pesta itu menjelang jam satu, rupanya acara belum dimulai. Kami sempatkan shalat zuhur terlebih dahulu di mesjid di samping gedung pertemuan tersebut. Ternyata acaranya dimulai jam setengah dua siang. Bagus juga, karena dengan demikian orang berkesempatan untuk melaksanakan shalat zuhur terlebih dahulu. 

Pesta ini menggunakan acara adat Minang.  Maksudnya kedua pengantin memakai pakaian adat Minang. Ustadz yang mengundang kami berasal dari Minang, sedangkan istrinya dari Jawa. Tapi besan mereka berasal dari Pariaman di ranah Minang. Iring-iringan pengantin dan orang tua mereka diarak menuju ke pelaminan dengan gendang tasa yang berdentum-dentum. Lalu ada tari persembahan oleh tiga pasang penari, menyambut kedatangan anak daro dan marapulai

Kemudian diikuti pula oleh pertunjukan tari piring yang musiknya adalah alunan gendang tasa dan saluang serta puput tanduk. Yang menari tiga orang penari laki-laki dan satu orang penari perempuan. Sebuah pertunjukan tari yang sangat elok. Entah kenapa, menonton pertunjukan tari Minang seperti ini menyebabkan jantungku berdebar-debar dan tanpa di sengaja air mataku meleleh. 

Menurut istriku, sepertinya sang ustadz menyibukkan dirinya dengan zikir saja selama pertunjukan tari-tarian tersebut.

****

                                

Sabtu, 01 Juni 2013

Engkau Adalah Keranjang Dosa, Banyak-banyaklah Beristighfar

Engkau Adalah Keranjang Dosa, Banyak-banyaklah Beristighfar 

Engkau adalah keranjang dosa. Bagaimana tidak, sejak dari membuka mata di pagi hari engkau telah berbuat dosa kepada Allah. Engkau bermalas-malas bahkan menarik selimutmu ketika muatzin meneriakkan bahwa shalat menyembah Allah lebih baik dari pada tidur. Lama kemudian. Engkau terbangun juga ketika matamu sendiri akhirnya kelelahan setelah terpicing cukup lama. Ketika itu mungkin matahari sudah mulai naik. Tidak ada kau ingat sedikitpun dengan nikmat yang kau dapatkan, kembali dihidupkan setelah ruhmu diistirahatkan dalam tidurmu. Kau bergerak ke kamar mandi dengan senyap. Kau membasuh muka dengan senyap. Kau membuang hajat dengan senyap. Bagi kau semua itu hanya sebuah rutinitas yang memang harus begitu. Itu saja. Tak pernah kau sadari bahwa rutinitas yang kau lalui itu adalah anugerah dan karunia Allah.

Atau...... kalaupun kau terbangun ketika azan dikumandangkan. Kalaupun kau datangi suara azan itu. Kalaupun kau tegak bersama di dalam shaf shalat subuh. Lalu kau pulang. Lalu kau nyalakan televisi. Muncullah aneka tayangan iklan. Dengan wajah ayu yang seronok. Bahkan di tengah acara pengajian sekalipun. Pengajian oleh ustadz kondang atau ustadz seleb. Banyak tayangan (iklan) yang sebenarnya tidak layak kau pelototi. Tapi itulah kau. Kau adalah keranjang dosa. Yang kau lakukan sengaja atau tidak sengaja. Kau senantiasa berdosa.

Atau kau tidak menyalakan tv sepulang dari mesjid. Tapi kau nyalakan laptop atau PC. Segera saja setelah kau terhubungkan melalui 'window'. Kembalilah muncul tayangan atau gambar yang akan mengumbar angan-angan. Apalagi kalau kau salah-salah 'klik'. Muncullah aneka macam pertunjukan 'neraka'. Semua ada di depan mata di dalam kamar yang tidak ada siapa yang mengintip selain dirimu. Kau bisa terpuruk ke dalam dosa. 

Lalu kau bersiap meninggalkan tempat tinggalmu menuju ladang tempat kau mencari nafkah. Kau lalui jalan yang macet dan sumpek. Di depan matamu terpajang beraneka macam tingkah polah anak manusia. Yang jantan dan betina dalam segala keakuannya. Ya, kau tidak melirik ke sana dan ke sini? Benarkah? Kadangkala matamu hinggap di sosok berpakaian muslimah. Anggun dan...... memikat kata hatimu. Dia itu anggun dan cantik. Terlihat wajahnya yang manis walau sekejap. Itulah sebuah lagi dosa. Yang entah kau sengaja ataupun tidak.

Dan ketika  kau memaki karena kendaraanmu disrobot. Itulah dosa yang lain. Ketika sampai di kantor tempat kau sehari-hari bekerja. Betapa banyaknya lahan untuk tertipu di sana. Baik oleh mata, pendengaran dan mulutmu sendiri. Ketika disengaja atau tidak kau gunjingkan seseorang. Sengaja atau tidak kau dengarkan dengan seksama ghibah di kiri dan kananmu. Atau kau lirik wajah sekretaris orang lain yang sendu. 

Di ruang rapat ada dosa. Di ruang makan siang ada dosa. Bahkan di mushala tempat kau melaksanakan shalat berjamaah, ketika hatimu mendongkol karena gerakan imam yang menurut kau terlalu pelan dan lama. 

Sesudah tumpukan dan karangan dosa sejak pagi hari, kau beranjak pulang. Di sepanjang jalan terulang kembali berbagai pemandangan. Berbagai keluhan dan makian. Berbagai tipuan. Seperti ketika kau mendengarkan hentaman musik antah berantah di kendaraanmu dan kau ikut menghentam-hentam lupa daratan.

Di rumah kau marah karena lampu mati lalu kau memaki. Atau di rumah tak kau dapati istri yang ternyata sedang sibuk dengan urusannya pula dan kau merasa biasa-biasa saja. Itupun dosa. Tidakkah kau menyadarinya?

Waktumu masih beribu detik sebelum kau menggolekkan badan untuk beristirahat. Ribuan detik yang penuh dengan cabaran dan tantangan untuk kembali dan kembali lagi berdosa. Entah dosa melalui media yang manapun. Meskipun kau telah melaksanakan shalatmu. Meskipun kau telah beusaha menghindar. Dirimu tetap keranjang dosa. Yang berbuat dosa sangat banyak dari sehari ke sehari. Maka kalau kau ingin selamat. Banyak-banyaklah kau beristighfar. Meminta ampunan Allah........

*****