Sabtu, 26 Oktober 2013

Wa lantardhaa 'ankalyahuudu walannashaara......

Wa lantardhaa 'ankalyahuudu walannashaaraa......

Allah telah mengingatkan kita kaum Muslimin tentang keinginan orang-orang Yahudi dan Nashrani untuk membelokkan keimanan kita, agar mengikuti cara-cara mereka dalam beragama. Peringatan itu termaktub dalam al Quran surah Al Baqarah ayat 120, yang bahagian awalnya kita jadikan kepala tulisan ini. 'Tidak akan pernah ridha orang Yahudi dan tidak pula orang Nasharani (kepada kalian) sampai kalian mengikuti milah (agama) mereka....' Begitu sejak kehadiran agama Islam dan akan begitu seterusnya sampai hari kiamat.

Ketidak ridhaan mereka itu mereka tunjukkan dengan bermacam cara, sesuai dengan situasi dan kondisi. Di awal kehadiran agama Islam, di jaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, orang-orang Yahudi berkali-kali berkhianat, menusuk dari belakang sampai mereka diusir dari Madinah bahkan akhirnya dari jazirah Arab. Orang-orang Nashrani memerangi umat Islam dalam perang salib yang berlangsung selama hampir dua ratus tahun, di akhir abad ke sebelas sampai akhir abad ke tigabelas, di daerah Palestina. Orang Kristen berjaya mengusir umat Islam dari semenanjung Iberia, di negeri Andalusia di akhir abad ke lima belas. Begitu terus menerus, sampai mereka menaklukkan negeri-negeri orang Islam untuk dijajah, yang berlangsung sampai pertengahan abad ke duapuluh.

Dalam menaklukkan negeri-negeri Islam kadang-kadang mereka berhasil, semisal beberapa kurun mereka mampu menguasai Tanah Palestina selama masa perang salib, atau bahkan berhasil mengusir umat Islam dari bumi Andalusia, setelah agama Islam berada di negeri itu selama delapan abad. Tetapi adakalanya mereka dikalahkan oleh kaum Muslimin. Salahuddin Al Ayyubi memenangkan babak terakhir dari perang salib, dan beberapa ratus tahun kemudian, Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstantinopel, ibunegeri kerajaan Romawi Timur.

Ketidak relaan orang-orang Yahudi dan Nashara itu berlanjut sampai sekarang. Taktik menyerang mereka tetap disesuaikan dengan keadaan. Adakalanya mereka memerangi umat Islam secara fisik, seperti ketika mereka menegakkan negara Israel di tanah orang Palestina. Meski sebenarnya antara Yahudi dan Nashara juga ada bibit perseteruan yang sangat serius, dalam menghancurkan umat Islam mereka saling bahu-membahu. Mereka menyadari, bahwa memerangi umat Islam secara fisik, sekarang ini tidak mudah dan beresiko tinggi dan mahal biayanya. Lalu mereka merobah taktik. Sekarang mereka lebih banyak melakukan perang pemikiran. Mempengaruhi orang-orang Islam agar mau meniru cara-cara hidup mereka dan meninggalkan tuntunan agama Islam. Peracunan pemikiran ini mereka (terutama orang-orang Yahudi) lakukan dengan sistematis dan terarah. Mereka mempunyai jaringan media massa bermodal sangat besar untuk melakukan itu. 

Sementara orang-orang Kristen, yang banyak kehilangan pamor di banyak negara, terutamanya di Eropah, berusaha pula menebar pengaruh di negeri-negeri Islam. Mereka mempunyai dana yang banyak. Pemuka agama mereka membayar siapa saja yang mau pergi mengkristenkan orang Islam. Di negara-negara Eropah (terutama Eropah Barat) banyak orang tidak lagi mau mengaku sebagai orang Kristen. Mereka mengaku sebagai orang-orang agnostik. Orang yang tidak percaya dengan Tuhan. Banyak gereja-gereja tidak lagi punya pengikut, menjadi kosong karena tidak pernah lagi digunakan, bahkan banyak yang dijual.

Di negeri kita, pemuka-pemuka Kristen tetap bekerja keras ingin membelokkan aqidah umat Islam. Dengan bermacam-macam cara. Yang agak halus adalah dengan mencoba berbaik-baik dengan orang-orang Islam miskin, membantu mereka dengan beras dan supermie untuk menukar agama mereka. Atau memberi anak-anak mereka beasiswa, yang perlahan-lahan dipengaruhi untuk pindah agama. Yang agak berat dari itu dengan cara mengawini orang Islam dengan mula-mula berpura-pura masuk Islam, lalu setelah beberapa tahun berputar haluan dan membawa serta pasangan mereka masuk Kristen. Yang lebih kasar lagi dengan cara menghipnotis, menculik (ingat kasus Wawah di Padang). 

Begitu taktik mereka. Orang Kristen berusaha keras untuk mengkristenkan masyarakat-masyarakat yang terkenal cukup kental keislamannya seperti masyarakat Sunda, Aceh dan Minangkabau. Dengan segala daya dan upaya. Dengan segala taktik. Sudah kita lihat bagaimana nekadnya mereka, mendatangi tempat-tempat yang kena musibah bencana alam, lalu dengan terang-terangan menawarkan bantuan sambil membagi-bagikan lembaran-lembaran ajaran Kristen. Ini terjadi di Aceh paska tsunami tahun 2004 dan di Sumatra Barat sesudah gempa tahun 2009.

Timbul pertanyaan dari sebagian kita, apa yang harus diperbuat? Untuk melindungi aqidah saudara-saudara kita yang terancam dimurtadkan? Banyak langkah yang harus diambil. Langkah yang paling pertama dan utama adalah membentengi diri kita dan keluarga kita yang terdekat. Seperti diingatkan Allah di dalam surah At Tahrim (surah 66) ayat 6. 'Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka......' Pelihara dirimu (mula-mula sekali). Bagaimana cara memelihara diri dari ancaman api neraka? Dengan berislam secara utuh. Secara kaaffah. Bagaimana pula caranya? Patuhi semua perintah Allah dan menghindar dari segala larangan Allah. Jangan ikuti bujuk rayu syaithan. Yaa ayyuhalladziina aamanu udkhuluu fissilmi kaaaffah - wa laa tattabi'uu khuthuwaati sysyaithaan. (Al Baqarah (2) ayat 208). Kalau kamu sudah cukup kuat, pelihara pula anggota keluarga. Kalau kamu dan keluargamu sudah cukup kuat ingatkan pula tetangga dan saudara-saudaramu. Begitu seterusnya....

Langkah kedua ingatkan bahwa agama yang diridhai Allah hanyalah Islam (surah Al Maidah (5) bagian akhir dari ayat 3). Agama selain Islam akan tertolak. Sebagaimana firman Allah, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Surah Ali Imran (3) ayat 85). 

Ingatkan bahwa Allah sangat murka kalau Dia disekutukan. Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mempersekutukannya dengan siapapun sebagaimana firmannya;   “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni jika Dia dipersekutukan dengan lain-Nya dan akan mengampuni (dosa) selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (An-Nisa’ (4) ayat 48).

Mengakui ada Tuhan selain Allah adalah perbuatan syirik. Mengakui Nabi Isa sebagai bagian dari Allah adalah kafir. Dan orang-orang kafir seperti itu tidak akan dimasukkan Allah ke dalam surga. Tempat kembali mereka adalah neraka dan tidak ada penolong bagi mereka.  "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun." (Al-Maidah (5) ayat 72).

Ayat-ayat ini yang jarang kita dengar didakwahkan para ustadz kita. Seolah-olah dengan mengatakan bahwa orang Nashrani itu kafir kita telah mengeluarkan kata-kata yang kasar. Mengeluarkan kata-kata vulgar. Tidak bertepo-seliro. Padahal itu adalah ayat-ayat Allah. 

Maka dakwahilah anak kemenakan kita! Jelaskan ayat-ayat Allah ini kepada mereka. Agar mereka berhati-hati. Dakwahi mereka sesudah kita menjaga diri kita dan keluarga kita sendiri dari kesesatan. Ingatkan mereka agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan Islam. Seperti diingatkan Allah; "Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam." (Ali Imran (3) ayat 102).

Setelah semua dakwah dilaksanakan. Setelah semua usaha membentengi diri, menjaga ahli keluarga, membimbing tetangga dan orang-orang dekat kita diusahakan, ternyata ada juga yang murtad, kembalikan semua kepada Allah. Karena barangsiapa yang dibiarkan sesat oleh Allah, tidak siapapun lagi akan dapat menunjukinya. 

Mudah-mudahan Allah senantiasa memelihara kita dalam keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya.

**** 

Jumat, 18 Oktober 2013

Dieng

Dieng 

Hari Selasa tanggal 8 Oktober yang lalu, jadwal kami adalah mengunjungi Dieng. Nama yang cukup akrab tapi belum pernah aku kunjungi. Dieng yang terkenal dengan peninggalan sejarah berupa candi-candi Hindu. Yang terkenal dengan kawah-kawah uap panas, bahkan pernah menimbulkan bencana di tahun 1979 dan mengakibatkan jatuh puluhan korban meninggal akibat terhisap gas CO2 di daerah Sinila.

Kami berangkat dari Jogya sekitar jam sembilan pagi menggunakan tiga buah mobil. Mula-mula mengarah ke Magelang di sebelah utara. Melintasi jalan raya yang lumayan ramai dipenuhi beraneka kendaraan. Udara sangat cerah. Di kejauhan terlihat puncak-puncak gunung Sumbing, Sindoro yang lancip bak ujung paku. Kami sampai di Wonosobo, kota di pegunungan. Di sini kami beristirahat untuk shalat dan makan siang.  

Lalu meneruskan pendakian ke tujuan utama. Melalui jalan yang relatif sempit, berliku-liku dan mendaki. Ada mirip-miripnya dengan pendakian di Puncak. Atau dengan pendakian di Kelok 44 jalan ke Maninjau. Kami lalui pula sedikit bagian jalan yang sedang dalam perbaikan akibat longsor. Di kiri kanan terlihat kebun sayur-sayuran. Ada yang sedang dipanen. Karung dan ketiding berisi kentang dan wortel yang ditumpuk di pinggir jalan.

Tercatat di mataku mesjid-mesjid yang indah di sepanjang jalan. Ada yang persis di tepi jalan dan ada pula yang agak terjorok ke tengah kampung. Dan wajah-wajah wanita berjilbab. Subhanallah.... Kami beristirahat lagi sejenak di alun-alun Dieng. Di depan mesjid Baiturrohman. 

Setelah itu kami teruskan perjalanan di sekitar Dieng. Melihat candi-candi peninggalan masyarakat Hindu. Hujan turun rintik-rintik. Dengan menggunakan payung kami mendekat ke salah satu kawah yang  mengepul-ngepul, tidak jauh dari jalan. Tercium bau belerang. Dan terdengar bunyi gemuruh air menggelegak di bawah sana.

Berpindah pula ke telaga tiga warna. Sayangnya, di saat kami sampai di situ terlihat hanya ada satu warna kehijau-hijauan. Hujan rintik-rintik terus berlanjut. Jam lima sore, dan hari sudah menjelang senja. Kami tinggalkan Dieng, kembali mengarah pulang ke Jogya. Melalui Wonosobo. Kali ini udara pegunungan ini ditutupi oleh kabut tebal. Jadi harus ekstra hati-hati. Jam tujuh malam kami sampai di Wonosobo. Mampir dan dijamu oleh besannya adik ipar. 

Sudah hampir tengah malam ketika kami akhirnya sampai kembali di Jogya.

*****

               

Rabu, 16 Oktober 2013

Qurban 1434 Hijriyah

Qurban 1434 Hijriyah

Terheran-heran kita menanggapi nilai rupiah negeri kita ini. Terheran-heran karena untuk ikut berkurban di hari Aidil Adha tahun ini kita harus merogoh kantong lebih dalam. Dua tahun yang lalu patokan harga sapi Rp 28,000 per kilogram kotor. Tahun lalu menjadi Rp 33,000. Lalu tahun ini menjadi Rp 41,000. Apa boleh buat. Untuk menyemangati jamaah mesjid kami saling mengingatkan, jangan menghitung-hitung mahal murah biaya kurban. Karena setiap rupiah yang kita belanjakan untuk ibadah kurban yang dikeluarkan dengan ikhlas karena Allah, niscaya Allah akan membalasnya.

Alhamdulillah, kami sama-sama bersemangat. Kami penghuni komplek dua ratusan buah rumah ini, yang muslimnya sekitar 85%, menyambut ajakan berkurban tahun ini dengan lebih antusias. Kalau dua tahun yang lalu kami memotong 13 ekor sapi plus belasan ekor kambing, tahun lalu turun menjadi 12 ekor sapi masih dengan belasan ekor kambing, maka tahun ini rekor jumlah sapi yang dipotong kembali pecah. Kemarin kami memotong 16 ekor sapi dan 23 ekor kambing. Berarti ada sebanyak 135 pengurban yang ikut serta. Ada beberapa keluarga berkurban seekor sapi utuh untuk 7 orang anggota keluarganya.

Seperti biasanya, untuk memotong dan menguliti sapi kami meminta bantuan tenaga profesional yang kami upah. Upah memotong sapi, seperti halnya biaya operasional lainnya, termasuk biaya konsumsi  dimasukkan kedalam biaya yang dibayar pengurban. Tenaga profesional ini yang menyembelih sapi, mengulitinya dan memisahkan bagian-bagiannya menjadi potongan-potongan besar. Memotong-motong daging dan mencincang tulang-tulang sapi, kami lakukan bergotong royong. Lebih seratus orang yang ikut bergotong royong, termasuk tenaga bantuan dari perkampungan di luar komplek. Tapi bagian terbesar adalah warga komplek, jamaah mesjid yang ikut berkurban. Ibu-ibu anggota majelis taklim bertugas menyiapkan konsumsi untuk kami semua.

Seperempat jam sebelum masuk waktu shalat zuhur kami beristirahat sejenak untuk shalat dan dilanjutkan dengan makan siang bersama.

Pekerjaan besar kemarin itu selesai lebih cepat dari biasanya. Sesudah istirahat kedua untuk shalat asar, sekitar jam empat sore kami sudah selesai memasukkan potongan daging kurban ke dalam 1600 kantong, siap untuk dibagikan. Beberapa hari sebelumnya, sebanyak 1600 kupon sudah dibagi-bagikan kepada masyarakat di sekitar komplek. Jam setengah lima kantong-kantong daging itu mulai dibagikan. Jam setengah enam sore pembagian itu selesai. Alhamdulillah.

****



                                 

Senin, 14 Oktober 2013

Melancong Ke Jogya

Melancong Ke Jogya

Jogya adalah tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi. Sudah berbilang kali aku mengunjungi kota ini untuk berbagai keperluan. Baik keperluan kantor maupun keperluan pribadi. Untuk pertemuan ilmiah IAGI maupun seminar-seminar. Untuk menghadiri pesta atau untuk berlibur. Mampir di Jogya selalu berkesan. 

Beberapa bulan yang lalu salah seorang adik ipar mengajak berlibur di Jogya. Sebenarnya dia berniat mengadakan selamatan untuk meresmikan pembangunan rumahnya yang baru saja selesai. Kami tertarik untuk hadir dan berencana untuk datang. Dengan kendaraan sendiri.

Aku menyukai menyetir jarak jauh, meski tidak maniac. Pernah beberapa kali menyetir dari Jakarta ke kampung pulang pergi. Bahkan pernah sampai ke Medan. Dua puluh tahun lebih yang lalu pernah menyetir sampai ke Jogya ini. Tapi sejak beberapa tahun ke belakang aku agak membatasi diri karena alasan kesehatan. Lalu ada sedikit perubahan dalam keluhan sakit asam urat sejak lebih kurang dua tahun terakhir ini. Ahamdulillah, badan terasa lebih fit. Timbul keinginan untuk mencoba menyetir jarak jauh lagi. 

Rencana menyetir ke Jogya pun dimatangkan. Ada ipar lain dari kampung yang akan ikut menemani. Untuk bergantian menyetir. Waktu berangkat dipilih hari Ahad tanggal 6 Oktober yang lalu. 

Kami berangkat jam sebelas siang melalui jalur selatan. Dimulai dengan menempuh jalan tol Cipularang sampai ke ujungnya di Cileunyi. Berhenti untuk shalat di mesjid di tempat istirahat sebelum akhir jalan tol. Kemudian sesudah itu istirahat lagi untuk makan siang di daerah Nagrek. Kami lanjut melalui Tasikmalaya, Ciamis kemudian Banjar lalu berhenti pula untuk shalat maghrib. Banjar terletak lebih kurang di tengah-tengah jarak ke Jogya. Sudah tujuh jam aku memegang kemudi. Dan rasanya masih bisa bertahan. 

Perjalanan dilanjutkan memasuki Jawa Tengah. Melalui kota-kota yang tidak semua namanya familiar di telingaku. Di kegelapan malam yang cerah berbintang. Sekitar jam delapan malam kami berhenti untuk makan malam di sebuah rumah makan.

Kami menggunakan GPS untuk membantu navigasi. Terjadi sedikit kekonyolan ketika memasukkan Bantul (di selatan) sebagai kota tujuan di Jogyakarta. Padahal tujuan kami adalah di daerah Kaliurang, di bagian utara kota Jogya. Kami lalu digiring  oleh GPS tersebut untuk melalui Bantul (baru di sana aku sadar bahwa kami menjauh dari sasaran). Tapi syukurlah, dengan berkomunikasi ke sasaran dan dibantu oleh GPS setelah mengoreksi tujuan akhir, kami sampai di tempat yang dituju jam setengah dua malam. Setelah berkendara sejauh 525 km. Dan aku bertahan memegang kemudi sepanjang perjalanan itu. Alhamdulillah. 

*****

                             

Sabtu, 05 Oktober 2013

Malu........................

Malu............................

Malu adalah salah satu cabang iman. Begitu sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Apa sebenarnya malu itu? Secara sederhana, malu adalah perasaan tidak nyaman di dalam hati, khawatir kita akan jadi perhatian fihak lain dalam keadaan yang tidak pantas atau tidak elok di diri kita. Anak gadis malu ketika mukanya berjerawat. Ibu-ibu malu ketika hak sepatunya patah di tengah pesta. Bapak-bapak merasa malu ketika menyadari bahwa celananya robek di bagian belakang atau resleting celananya lupa dipasangkan.

Hanya saja, nilai-nilai malu itu tidak sama di setiap orang. Sesuatu yang memalukan bagi seseorang ternyata biasa-biasa saja bagi orang lain. Atau ada orang yang bisa bersikap masa bodoh saja ketika dia sedang menghadapi kondisi yang kurang elok. Lebih tegasnya, ada anak gadis yang tidak merasa pusing dengan jerawat di mukanya. Atau bapak-bapak yang acuh tak acuh saja meski dia baru saja menyadari bahwa jahitan celananya lepas di bagian belakang sehingga celana dalamnya kelihatan.

Dan ternyata malu juga mengalami penurunan nilai. Mengalami inflasi. Di jaman orang tua kita dulu, menurut cerita beliau, kalaupun mereka ada juga berintaian (ini istilah beliau untuk berpacaran) yang dilakukan hanya sekadar bersurat-suratan. Atau berpandang-pandangan jarak jauh, dilakukan sekali-sekali, di saat sama-sama hadir di tempat pesta. Berbuat lebih dari itu, tidak berani. Karena malu.

Di generasi kita sudah lebih 'mundur' batas malu. Sudah ada acara berkunjung ke rumah pomle. Sudah pandai berpegang-pegangan tangan...... Tanpa merasa malu.

Makin ke sini semakin dahsyat. Yang dilakukan generasi sesudah kita sangat berbeda nilai malunya. Jadi kelihatan betul alah bisa karena biasa. Hilang malu karena nafsu.

Bagian terakhir inilah yang jadi kata kunci. Makin ke belakangan ini, kebanyakan orang semakin susah mengekang nafsu. Nafsu apa saja. Nafsu ingin memiliki, nafsu ingin berkuasa. Nafsu ingin terkenal. Nafsu ingin mencoba-coba sesuatu yang biarpun dikenal umum adalah sesuatu yang terlarang. Sebut saja penggunaan narkotika dan sebangsanya. Maka semakin hilanglah malu. Dan ketika malu itu hilang, jadi tunggang langgang suasana. Orang berpacu-pacu menjual popularitas. Untuk menjadi orang terhormat. Untuk jadi penjabat. Segala cara dilakukan. Tanpa malu-malu.

Malu adalah bagian dari iman. Malu harus dipupuk dengan nilai iman. Kita harusnya merasa malu berbuat yang tidak senonoh. Baik dengan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Karena kita menyadari bahwa Allah menilai dan mengawasi kita. Kita seharusnya malu mengambil hak orang lain tanpa kebenaran. Kita seharusnya malu berpenampilan tidak wajar. Berpenampilan kaya raya padahal orang bisa menilai bahwa kita tidak layak mempunyai harta melimpah ruah. Yang artinya kekayaan kita yang berlebihan itu telah kita dapatkan dengan cara-cara tidak sah. Dengan cara-cara memalukan.

Banyak orang diperdaya oleh nafsu sehingga hilang rasa malu. Karena mereka tidak beriman dengan sungguh-sungguh. Mereka dibawa hanyut oleh hawa nafsunya. Sampai kadang-kadang aibnya terbongkar. Baru dia merasa sedikit malu pada waktu itu. Kalau sempat.....

*****