Selasa, 27 April 2010

Ternyata......

Ternyata tetap aja males....

Mengisi diary secara rutin tiap hari ternyata tetap saja males. Padahal banyak juga kejadian sehari-hari yang layak ditulis. Yang layak untuk disimpan, di-memorize. Tapi ya itulah. Mungkin juga karena membuka blog yang ini harus disengaja benar. Nggak susah, hanya saja 'repot'.

Kemarin kami, (aku, si Sulung dan cucu-cucu si kembar) ke Alsut. Alsut itu kompleks perumahan Alam Sutera tempat si Tengah dan suaminya dan si Izan, cucuku yang ketiga, tinggal. Sudah sepuluh hari pula tidak melihat Izan. Sudah taragak. Cerita tentang Izan saja belum pernah ditulis disini.

Izan lahir hari Rabu, tanggal 24 Maret 2010 jam 14.24 siang. Lahir normal. Jadilah dia cucu ke tiga. Anak pertama si Tengah dan suaminya. Bayi yang sehat...... Alhamdulillah.... Beratnya 3100 gr dan panjang badan 49 cm. Sesudah empat hari di rumah sakit MMC Kuningan dibawa pulang ke Jatibening. Hari ketujuhnya diaqiqahkan. Aku (seperti untuk si Kembar dulu) yang memotong dua ekor kambing untuk aqiqahnya. Nama lengkapnya yang diberikan orang tuanya adalah Muhammad Hamizan Hafidz. Kami berbahagia dengan kehadiran Izan. Termasuk si Kembar yang sangat senang dapat adik. Adik Izan.

Si Tengah hanya seminggu di rumah dan segera minta pulang ke rumah suaminya di Alsut. Sedih juga berpisah dengan Izan, tapi yang mereka (si Tengah dan suaminya) lakukan adalah sesuatu yang sangat wajar, jadi tidak mungkin dihalangi.

Seminggu yang lalu Izan sakit. Batuk dan selesma. Kasihan betul bayi kecil yang baru berumur dua puluh hari lebih itu sesak nafasnya karena hidungnya tersumbat ingus. Hari Minggu sebenarnya kami ada arisan di Tangerang, di BSD. Sangat dekat ke Alsut. Tapi berhubung karena istriku masih agak flu juga, kami tidak pergi melihat Izan. Nah, itulah sebabnya kemarin kami pergi kesana. Istriku tinggal di rumah karena merasa masih kurang sehat. Alhamdulillah Izan sudah sembuh.

***

Sabtu, 06 Maret 2010

Maut Sungguh Sangat Dekat

Maut Sungguh Sangat Dekat

Ketika kami memotong hewan kurban di hari raya Aidil Adha, seorang teman berkomentar begini; ‘Alangkah bodohnya kambing-kambing ini. Sudah dilihatnya kawan-kawannya mati disembelih, dia tidak gentar sedikitpun, malahan masih asyik saja makan dan bahkan bercumbu dengan kambing jantan lainnya.’ Yang dikatakan teman itu, dilihat dari mata awam memang sangat benar. Kambing-kambing yang sedang menunggu giliran untuk dipotong itu tidak sedikitpun menghiraukan kematian yang beberapa saat lagi akan ditemuinya.

Kalau dilihat dengan mata yang sedikit sensitif, sebenarnya kita tidak ada bedanya dengan kambing hewan kurban itu. Maut itu sungguh sangat dekat dengan kita.

Seminggu yang lalu, hari Ahad subuh, ketika sedang menyimak taklim mingguan, saya dikejutkan oleh berita yang diterima ibu-ibu jamaah melalui sms bahwa bapak Pr saat itu sedang dalam keadaan koma dan sudah di rumah sakit. Bapak Pr masih berjamaah bersama kami shalat maghrib dan isya. Beliau tinggal di masjid sesudah shalat maghrib, menunggu masuk waktu isya. Sesudah shalat isya, sempat mampir dulu untuk berbincang-bincang dengan dua tetangga yang juga jamaah masjid. Tengah malam beliau mendapat serangan, kata dokter stroke, dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Sampai hari ini beliau masih koma. Tiga hari yang lalu istri beliau menelpon saya sebelum berangkat ke masjid di waktu subuh, memohon agar jamaah mendoakan pak Pr. Ada sedikit perobahan pada kondisinya, beliau sudah bisa membuka mata untuk beberapa saat. Subuh tadi, sebelum ustad menyampaikan taklim, kami sekali lagi berdoa untuk pak Pr.

Sedang kami mendengarkan ceramah, seorang anak muda jamaah masjid datang menghampiri saya. Dia baru saja dari arah luar. ‘Ada berita duka, pak. Bapak Ri meninggal dunia jam 4.30 subuh ini,’ katanya. Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

Bapak Ri segar bugar sampai kemarin siang. Ada seorang jamaah lain menyaksikan beliau menyetir mobil kemarin siang. Rupanya beliau sakit perut. Tengah malam dibawa ke rumah sakit dengan taksi. Hanya beberapa jam di rumah sakit, datanglah malaikat maut. Pak Ri sudah tidak ada.

Betapa dekatnya maut. Betapa tidak bisa ditebaknya kedatangan malaikat maut. Yang pasti, semua kita sudah memegang karcis masing-masing, siap berangkat. Giliran kita mungkin nanti, mungkin besok, mungkin lusa. Giliran itu sudah sangat pasti akan datang. Tapi seperti kambing yang ketika menunggu giliran akan dipotong masih sibuk dengan kesenangan perut dan nafsu, agak-agaknya seperti itu pulalah kebanyakan manusia. Lupa bahwa dia sudah ditunggu malaikat maut.

***

Rabu, 10 Februari 2010

Cuka Apel

Cuka Apel

Seorang teman menganjurkan saya untuk mencoba cuka apel sebagai obat penawar asam urat. Sebuah tawaran yang perlu dipertimbangkan karena sejarah asam urat di tubuh saya sudah terhitung lama, sejak tahun 1986. Dan sudah semakin tinggi kadar asam uratnya. Bermacam-macam obat dan cara pengobatan sudah saya coba. Ada yang (pernah) manjur, yang setengah manjur, yang menimbulkan alergi.

Bertahun-tahun saya cukup aman dengan memakai pil herbal buatan Cina. Sumalin namanya. Sampai suatu saat obat itu tidak lagi manjur. Pernah pula bertahun-tahun saya memakan beberapa lembar daun sambung nyawa setiap hari, aman dalam arti kata tidak pernah diganggu oleh asam urat meski menu makan hampir tidak dibatasi. Daun 'sakti' itupun berakhir keampuhannya sesudah enam tahun. Akhirnya kembali ke dokter. Nah, disinilah timbul masalah, karena ternyata obat dokter yang nama dagangnya zyluric, menimbulkan alergi sariawan berat bagi saya.

Terpaksalah berdiet. Mengenali dan memilih makanan yang boleh dan yang tidak boleh. Terakhir sejak beberapa bulan terakhir mengintensifkan minum jus sirsak. Ada pengaruhnya (manfaat dan kebaikannya) meski tidak spektakuler sekali. Lalu datang anjuran mencoba jus apel tadi itu.

Saya mencarinya di toserba. Mematut-matut sebuat botol bertulisan Korea dengan keterangan berbahasa Inggeris. Sudah dimasukkan ke keranjang belanjaan. Tapi tiba-tiba saya ingin menelitinya lagi, apa saja kandungan sang cuka apel tersebut. Masya Allah...... Alkohol 7.5%. Ya bubarlah. Dikembalikan saja ke raknya.

Saya masih bertanya-tanya apakah semua cuka apel mengandung alkohol.....


***

Rabu, 03 Februari 2010

Pulang Kampung Lagi (9)

(9)

Aku ternyata sudah sangat mengantuk. Begitu serah terima stir aku hanya bertahan beberapa menit dan setelah itu segera tertidur. Terbangun waktu kami sudah sampai di Rumah Makan Begadang. Mungkin aku sempat tertidur kira-kira setengah jam. Hari menjelang jam dua pagi. Dan perut memang sedang lapar-laparnya. Tidak ada pengunjung lain selain kami waktu itu. Tapi pegawai rumah makan itu masih segar-segar saja. Mungkin mereka memang yang bertugas khusus malam hari. Kamipun makan di antara kantuk dan lapar. Lauknya sudah agak terbatas tapi masih adalah. Makan subuh itu diiringi dengan secangkir kopi ginseng.

Sesudah makan kami lanjutkan lagi perjalanan menuju Bakauheni. Melalui dalam kota Bandar Lampung, kota kembar Tanjung Karang dan Teluk Betung. Sepi pagi itu. Ya iyalah, sudah jam tiga subuh. Aku kembali terkantuk-kantuk dan tertidur ayam. Jam empat kami sampai di pelabuhan. Persis saat kendaraan-kendaraan sedang naik ke atas feri. Tidak terlalu lama kamipun dapat giliran untuk naik feri. Aku melihat-lihat ke luar. Di lantai tempat mobil kami itu tidak ada kamar kecil, tidak ada air. Kalau mau ke mushala harus naik ke tingkat atas melalui tangga besi. Aku tidak yakin istri-istri itu akan sanggup naik tangga dalam kondisi kelelahan seperti itu. Jam empat lebih seperempat adalah waktu subuh. Akhirnya aku mengajak shalat di mobil saja. Kami bertayamum dan shalat subuh berjamaah di dalam mobil.

Sudah jam setengah delapan waktu feri itu sampai di pelabuhan Merak. Kami segera keluar dari perut feri. Menuju ke pompa bensin terdekat. Untuk mengisi bensin dan untuk ke kamar kecil. Suami adik ipar menyerahkan stir kembali kepadaku. Kami melaju di jalan tol Merak - Jakarta. Jalan yang ternyata banyak perbaikan pula. Sebagian jalur sedang mengalami operasi gali lobang tutup lobang. Padahal berapa tahun benarlah baru umur jalan tol ini. Ternyata kualitasnya sama saja. Belum bisa dibandingkan dengan jalan tol di negeri orang.

Alhamdulillah, jam sepuluh kami sampai di Jatibening dengan selamat.


*****

Selasa, 05 Januari 2010

Pulang Kampung Lagi (8)

(8)

Kami berada di tengah-tengah ketersendatan. Kendaraan truk-truk besar berlapis-lapis di hadapan. Ada tehnik sederhana yang biasa aku lakukan untuk menyalip kendaraan di saat macet seperti yang saat itu kami alami. Teknik menunggu kendaraan lain di depan menyalip dan kemudian ikut di belakangnya. Setiap kali ada kendaraan di depan yang sedang pindah jalur ke kanan untuk mendahului, berarti jalur kanan itu aman bagi kendaraan kami dan aku melesat pula maju mendahului. Kalau kendaraan di depan merapat ke kiri karena ada kendaraan dari arah berlawanan, aku juga segera merapat ke kiri. Hanya dengan cara seperti itu truk-truk besar itu bisa dilewati dengan mudah.

Sudah jam tujuh malam waktu kami terbebas dari kemacetan. Sudah kami lalui Kayu Agung. Kami melaju dalam kegelapan malam. Jam delapan malam kami berhenti di sebuah pompa bensin. Untuk mengisi bensin. Untuk ke kamar kecil dan terakhir untuk shalat. Aku tidak menanyakan nama tempat itu.

Setelah shalat kami lanjutkan lagi perjalanan. Kami sudah sepakat untuk tidak beristirahat di penginapan malam ini. Lagi pula mau menginap di penginapan mana lagi? Kalau menempuh jalur Palembang, yang dikenal sebagai jalur timur ini tidak banyak kota yang dilalui. Seandainya harus beristirahat, paling-paling berhenti di pompa bensin dan tidur dalam mobil.

Jalan ini relatif ramai. Kalau aku memacu sendirian agak kencang, tidak lama kemudian di hadapan kami sudah ada lagi kendaraan. Kalau kendaraan lain itu berjalan santai tentu harus dilewati. Ada beberapa buah bus jarak jauh yang kami jumpai searah dengan kami. Ini juga sebuah alat pembanding yang baik. Bus ini cenderung untuk kencang ketika jalan tidak mendaki. Aku senang mengiringkan bus seperti ini. Tinggal dijaga jarak aman di belakangnya. Dia kencang, aku ikuti pula dengan kecepatan yang sama. Tidak kencang sangat. Mungkin dengan kecepatan sekitar 100 km per jam. Begitu ada jalan mendaki, bus itu biasanya terengah-engah. Kalau sudah begitu aku dahului.

Penumpang di kendaraan kami sudah senyap. Sepertinya mereka sudah kecapekan dan kemungkinan sedang tertidur. Termasuk pambayan yang duduk di sebelahku. Aku sendiri alhamdulillah dalam keadaan segar-segar saja. Baik juga khasiat kopi yang diminum sore tadi. Kalau sudah begini, aku biasanya mengaji. Membaca al Quran yang aku hafal. Sambil mata tetap awas ke depan.

Jalan yang kami tempuh dalam kondisi sangat baik. Hampir tidak ada kerusakan. Kabarnya jalan ini diperbaiki menjelang pelaksanaan PON dua tahun yang lalu. Dan dua tahun yang akan datang Palembang akan jadi tuan rumah SEA Games. Mudah-mudahan jalan ini akan tetap terpelihara kenyamanannya. Ada satu kekurangan jalur ini yang aku ingat benar ketika dulu aku juga pernah melintasinya. Banyak ditemukan belokan patah membuat sudut 90 derajat. Belokan patah siku seperti itu rupanya sudah banyak berkurang. Belokan seperti itu sangat beresiko apalagi kalau pengemudi sedang kelelahan.

Kekurangan lain, persis seperti yang aku amati tadi malam di jalan menuju Jambi adalah minimnya batu penunjuk jarak. Kami bagaikan berjalan di pesawangan tanpa batas. Tidak tahu kota atau kampung apa yang akan dijelang berikutnya dan berapa jaraknya.

Kami teruskan saja perjalanan. Tiba-tiba mobil kami didahului oleh bus besar, yang tadi sudah dilewati. Aku biarkan dia di depan dan aku ikuti kembali seperti tadi. Kami beriring-iringan dalam waktu yang cukup lama. Jalan relatif rata walau kadang-kadang berbelok-belok. Akhirnya kami sampai di Menggala. Menggala nama sebuah kota. Kali ini ada penunjuk ke arah Bakauheni. Aku sudah diberi tahu kemaren di Bukit Tinggi bahwa ada jalan baru memintas ke Bakauheni. Katanya jalan itu bagus hanya agak sempit. Kami tidak akan mengambil jalan pintas itu.

Kami keluar ke pertemuan jalan lintas timur dengan lintas tengah di Tulang Bawang. Aku tidak mengenal jalur ini. Kami sampai ke sini karena dari tadi mengikuti bus besar antar kota itu. Jalan yang aku kenal adalah keluar dekat Bandar Jaya. Kota itu sudah dekat ke Bandar Lampung. Sedangkan Tulang Bawang masih jauh dari Bandar Lampung. Masih sebelum Kota Bumi.

Sudah jam satu malam. Berarti aku sudah menyetir lebih dari tujuh jam. Sudah lumayan lelah. Ketika suami adik ipar menawarkan pergantian aku langsung mengiyakan. Sebenarnya perut sudah lumayan lapar. Kami tahan. Kami akan makan nanti menjelang Bandar Lampung.

***

Sabtu, 02 Januari 2010

Pulang kampung Lagi (7)

(7)

Aku terbangun beberapa menit menjelang azan subuh. Sekitar jam setengah lima lebih sedikit. Segera berbersih-bersih di kamar mandi. Ketika aku selesai dari kamar mandi, azan segera berkumandang. Alhamdulillah, inilah keelokan negeri ini. Adanya panggilan azan pada saat masuk waktu shalat. Namun kali ini sepertinya berasal dari tempat yang agak jauh. Sementara aku tidak familiar dengan lingkungan ini. Aku ragu-ragu untuk pergi keluar mencari masjid. Keraguan yang berakhir dengan tidak jadi pergi. Kami shalat berjamaah di kamar saja.

Jam tujuh pagi kami sudah siap untuk meninggalkan hotel Matahari. Hotel ekonomis ini hanya membekali kami dengan sepotong roti (sepotong dalam arti harfiah) dan secangkir kopi atau teh. Ini jelas tidak cukup untuk dipakai melawan jalan panjang hari ini. Artinya kami harus mencari tempat sarapan terlebih dahulu. Yang ternyata tidak mudah. Kami berputar-putar di dalam kota sekitar setengah jam sebelum akhirnya menemukan sebuah kedai kopi. Sebuah kedai kopi Cina, entah di bagian mana kota. Disinilah kami sarapan. Ada yang memesan nasi lemak (nasi uduk versi Jambi), nasi goreng. Aku memesan mi rebus dan kopi susu. Aku yang sudah lama tidak membiasakan lagi minum kopi, memesannya karena perjalanan panjang ini akan memerlukan tenaga ekstra. Baru terbuka agak-agak. Kami segera akan keluar dari kota Jambi. Waktu menunjukkan jam sembilan. Hari hujan panas di pagi hari ini.

Mobil kami menderu ke arah Palembang. Jalan ternyata cukup bagus meski sedikit ramai. Aku jadi penumpang pagi ini. Kami mehotar berat sepanjang jalan. Hotar politik sampai hotar ekonomi. Hotar yang berlapir-lapir karena kami membahas sampai kasus bank Century.

Jalan benar-benar dalam kondisi bagus. Konon ini sebagai buah positif otonomi daerah. Kabupaten Ogan Komering ini sekarang termasuk sebuah daerah yang kaya dari hasil minyak bumi. Yang agak mengherankan ada di suatu bagian sisi jalan terlihat pohon-pohon sawit tua yang sudah tidak berbuah tapi tidak diremajakan. Entah apa sebabnya. Menjelang kota Banyu Asin jalan mulai macet. Kamipun jadi tersendat-sendat.

Jam dua lebih kami memasuki kota Palembang. Sedang elok terasa lapar. Kami menuju restoran Pagi Sore di tengah kota. Restoran yang apik dan cukup besar. Restoran Minang yang sudah sedikit disesuaikan dengan lidah wong kito. Ada sedikit rasa manis-manis di dalam pedasnya. Saya ingat kota Medan yang juga mempunyai restoran Melayu Minang. Agak mirip-mirip nuansanya dengan restoran Pagi Sore ini.

Ada mushala juga di restoran ini. Dan disana kami shalat. Sudah jam setengah empat waktu kami meninggalkan restoran. Tujuannya adalah mencari kedai empek-empek. Empek-empek Candy. Untuk dibawa sebagai oleh-oleh tanda sudah singgah di Palembang. Sementara ibu-ibu mengatur pembelian pembayan mengajak mencicipi beberapa jenis empek-empek yang siap saji. ‘Sambil minum kopi, bang,’ katanya. Benar juga. Secangkir kopi lagi akan sangat bermanfaat. Karena setelah ini aku yang akan memegang kemudi. Dan rencananya kami akan berjalan terus malam ini.

Jam setengah lima waktu kami meninggalkan kedai empek-empek. Palembang sudah siap untuk ditinggalkan. Kami melintas di atas jembatan Ampera. Mengikuti arus lalu lintas yang lumayan padat. Tadinya aku menyangka bahwa lalu lintas padat itu hanya di lingkungan kota Palembang saja. Begitu keluar aku berharap jalan akan mulai sepi. Aku salah total. Jalan ke luar kota dari Palembang menuju Kayu Agung mirip dengan jalan Jakarta Puncak. Padat merayap. Yang searah padat begitu pula yang berlawanan arah. Hari sudah menjelang maghrib.

***